Rabu, 12 Oktober 2016

Estetika Pada Suatu Film

Film dalam arti sempit adalah penyajian gambar lewat layar lebar, tetapi dalam pengertian yang lebih luas bisa juga termasuk yang disiarkan di TV. Film merupakan salah satu media massa yang berbentuk audio visual dan sifatnya sangat kompleks. Film menjadi sebuah karya estetika sekaligus sebagai alat informasi yang bisa menjadi alat penghibur, alat propaganda, juga alat politik. Ia juga dapat menjadi sarana rekreasi dan edukasi, di sisi lain dapat pula berperan sebagai penyebarluasan nilai-nilai budaya baru. Film bisa disebut sebagai sinema atau gambar hidup yang mana diartikan sebagai karya seni, bentuk populer dari hiburan, juga produksi industri atau barang bisnis. Film sebagai karya seni lahir dari proses kreatifitas yang menuntut kebebasan berkreativitas. (H. Hafied, 2008:136).
Dalam pembuatan film tidak mudah dan tidak sesingkat yang kita tonton, membutuhkan waktu dan proses yang sangat panjang diperlukan proses pemikiran  dan proses teknik. Proses pemikiran berupa pencarian ide, gagasan, dan cerita yang akan digarap. Proses teknik berupa keterampilan artistik untuk mewujudkan ide, gagasan menjadi sebuah film yang siap ditonton. Pencarian ide atau gagasan ini dapat berasal dari mana saja, seperti, novel, cerpen, puisi, dongeng, sejarah, cerita nyata, bahkan kritik sosial pada pemerintah. Salah satu film yang berisi kritik sosial pada pemerintah adalah film
“Alangkah Lucunya Negeri Ini.  Film ini merupakan film drama komedi satire Indonesia yang dirilis pada tanggal 15 April 2010 yang disutradarai oleh Deddy Mizwar. Film ini dibintangi antara lain oleh Reza Rahadian dan Dedy Mizwar.
Film ini mencoba mengangkat potret nyata yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia. Film ini juga dipenuhi bintang film Indonesia, tercatat ada sembilan nama peraih piala citra yang berkolaborasi secara sempurna untuk menyajikan tontonan yang berkualitas. Slamet Rahardjo, Deddy Mizwar, Tio Pakusadewo, dan Rina Hasyim. Keseluruhan film dipenuhi satir-satir politik yang cerdas. Jauh dari itu film ini membuka mata kita semua. Tentang pendidikan, tentang pengangguran, tentang kerasnya hidup di jalanan, serta kritik pada penguasa negeri ini. Tanpa pemahaman, film ini hanya akan sekedar menjadi komedi belaka.
Kadang kala, pesan moral pada sebuah film kurang diperhatikan oleh penonton. Banyak di antara mereka hanya menikmati alur cerita, visualisasi, bahkan Humornya saja dari film tersebut. Jika diperhatikan secara seksama dalam suatu film dapat menjadi inspirator bagi penontonnya. Mereka dapat ikut berpikir dan bertindak sebagai masyarakat indonesia yang aktif untuk memajukan Harkat dan Martabat Bangsa, bukan sebaliknya hanya sekedar menikmati humor saja dari film ini. Dalam Film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) banyak Kritik Sosial pada Masyarakat dan Pemerintah, Fakta Fenomena Sosial Bangsa Kita, Harapan Anak Bangsa, Serta pesan moral baik Politik maupun Pendidikan bagi Indonesia yang ingin disampaikan kepada penonton. Dengan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai makna simbolis mengenai pesan moral yang ingin disampaikan pada film Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Sangat penting untuk mengetahui Semiotika Film Alangkah Lucunya Negeri Ini agar masyarakat bisa mengetahui film-film yang mendidik dan memberikan inspirasi bagi generasi penerus bangsa tentang pentingnya pendidikan untuk membangun bangsa negara yang lebih baik.

TINJAUAN PUSTAKA
Analisis
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Analisis adalah penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itusendiri serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Menurut Anne Gregory, Analisis adalah langkah pertama dari proses perencanaan.
Menurut Dwi Prastowo Darminto & Rifka Julianty, Analisis merupakan penguraian suatu pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri, serta hubungan antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan.

Semiotika
  Istilah semeiotics (dilafalkan demikian) diperkenalkan oleh Hippocrates (460-337 SM), penemu ilmu medis Barat, seperti ilmu gejala-gejala. Gejala, menurut Hippocrates, merupakan semeion, bahasa Yunani untuk penunjuk (mark) atau tanda (sign) fisik.
  Dari dua istilah Yunani tersebut, maka semiotik secara umum didefinisikan dengan produksi tanda-tanda dan simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk mengkomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal serta tactile dan olfactory (semua tanda atau sinyal yang bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki) ketika tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia.
Film
Menurut UU 8/1992, Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan salah-satu media komunikasi massa audio visual yang dibuat berdasarkan asas sinematografi yang direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukkan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik, dan sistem lainnya. Film berupa media sejenis plastik yang dilapisi emulsi dan sangat peka terhadap cahaya yang telah diproses sehingga menghasilkan gambar (bergerak) pada layar yang dibuat dengan tujuan tertentu untuk ditonton. Pada generasi berikutnya fotografi bergeser pada penggunaan media digital elektronik sebagai penyimpan gambar. Sebuah film, juga disebut gambar bergerak, adalah serangkaian gambar diam atau bergerak. Hal ini dihasilkan oleh rekaman gambar fotografi dengan kamera, atau dengan menggunakan teknik animasi atau efek visual.

Teori Semiotika Roland Barthez
Teori Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu denotasi dan konotasi. Kata konotasi berasal dari bahasa Latin connotare, “menjadi makna” dan mengarah pada tanda-tanda kultural yang terpisah/bebeda dengan kata (dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi). Kata melibatkan simbol-simbol, historis dan yang berhubungan dengan emosional.
Roland Barthes, semiotikus terkemuka dari Prancis dalam bukunya Mythologies (1972) memaparkan konotasi kultural dari berbagai aspek kehidupan keseharian orang Prancis, seperti steak dan frites, deterjen, mobil ciotron dan gulat. Menurutnya, tujuannya untuk membawakan dunia tentang “apa-yang terjadi-tanpa-mengatakan“ dan menunjukan konotasi dunia tersebut dan secara lebih luas basis idiologinya.
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.

METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah Content Analysis (Analisis Isi).  Analisis isi (content analysis) adalah penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi tertulis atau tercetak dalam media massa. Pelopor analisis isi adalah Harold D. Lasswell, yang memelopori teknik symbol coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian diberi interpretasi. 
Kemudian penelitian ini menggunakan model Roland Barthes, yang berfokus pada gagasan tentang gagasan signifikasi dua tahap (two order of signification). Yang mana signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifer (penanda) dan signified (petanda) di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Pada signifikasi tahap kedua yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam. 


HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Untuk menjelaskan identifikasi masalah di atas, maka diambil enam scene serta waktu dan durasinya yang memiliki pesan terkait dengan Bidang Pendidikan di Indonesia yang telah dianalisis dengan menggunakan Teori Semiotika Roland Barthes, sebagai berikut:

Makna Denotasi 
  Pada gambar pertama terlihat Muluk berjalan melintasi jembatan pinggiran Kota Jakarta, Lalu melewati Pasar Tradisional di bawah jembatan itu. Di Gambar Berikutnya ditunjukkan Penjual Batu Kebal Bacok, Penjual Undur-Undur, Penjual yang menawarkan Ramalan Hidup, dan Penjual Ayat-Ayat Pelindung dari Malapetaka. Dan setiap Gambar tadi, terlihat betapa antusiasnya pembeli dengan tawaran-tawaran tadi.


Makna Konotasi 
        Konotasi yang ingin disampaikan oleh gambar ini adalah adanya kontradiksi antara dua paham atau kepercayaan dalam Masyarakat Indonesia. Di Abad 21 ini, meskipun Logika dan Pemikiran Modern sudah muncul di bidang akademik, Masih begitu banyak Masyarakat di Indonesia masih menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme, pemujaan terhadap roh (sesuatu yang tidak tampak mata). Mereka percaya bahwa roh nenek moyang yang telah meninggal menetap di tempat-tempat tertentu, seperti pohonpohon besar. Arwah nenek moyang itu sering dimintai tolong untuk urusan mereka.
Caranya adalah dengan memasukkan arwah-arwah mereka ke dalam benda-benda pusaka seperti batu hitam atau batu merah delima. Ada juga yang menyebutkan bahwa dinamisme adalah kepercayaan yang mempercayai terhadap kekuatan yang abstrak yang berdiam pada suatu benda. 
  Di Scene ini Muluk dikonotasikan Pihak yang menganut pemikiran modern (Logika/Masuk Akal), Sedangkan Penjual dan Pembeli di Pasar menggambarkan Pihak yang masih percaya animisme (Dinamisme).
       
Makna Mitos 
        Dunia mengenal Indonesia adalah Negara yang beraneka ragam agama dan sangat memegang kepercayaan Kepada Tuhan yang Maha Esa. 
         Kepercayaan Agama Kristen, dalam Kitab Imamat 19:31, ”Janganlah kamu berpaling kepada arwah atau kepada roh-roh peramal; janganlah kamu mencari mereka dan dengan demikian menjadi najis karena mereka; Akulah TUHAN, Allahmu.”. Dalam Agama Islam, “Janganlah kamu sujud bersembah kepada matahari dan jangan pula kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakan matahari dan bulan, jika kamu benar-benar ingin menyembah kepada-Nya”(QS. Fush-shilat : 37)”.
         Artinya, setiap Agama sangat menentang Animisme dan Dinamisme di Indonesia. Bahkan Dalam Pendidikan Sekolah, Sangat diwajibkan untuk mengikuti Pendidikan Agama. Indonesia di lain sisi dijuluki Negara yang Berpendidikan dan Beragama, tapi di lain sisi negara masih permisif terhadap masyarakat yang menganut Animisme dan Dinamisme. 



KESIMPULAN 
1.      Makna Denotasi
Makna denotasi dalam penelitian ini adalah gambaran tentang potret kehidupan Anakanak terlantar di Indonesia yang dahulunya pencopet menjadi pengasong, khususnya di Jakarta, Sehingga, ada beberapa lokasi yang diwakilkan, serta Lingkungan kehidupan rakyat Indonesia di Jakarta.
2.      Makna Konotasi
Makna konotasi yang terlihat dalam film ini adalah perjuangan yang dilakukan Muluk terkait dengan Penerapan  dan pengimplementasian Pendidikan yang sesungguhnya dalam kehidupan. Lebih khusus lagi, Muluk berjuang dengan cara merubah kehidupan sekelompok pencopet cilik kepada profesi yang ‘halal’ yaitu menjadi pengasong cilik.
3.      Mitos 
Ada beberapa mitos yang terlihat dalam film ini, yaitu tentang apakah pendidikan itu penting di Negara Kita, Masih banyak Orang yang ‘salah’ dalam berpendidikan sukses menjadi  Koruptor, dan UUD 1945 Pasal 34 (1) yang katanya melindungi anak-anak terlantar yang justru malah menangkap mereka layaknya seorang ‘penjahat’. Secara singkat, mitos yang ada dalam film ini adalah Negara Indonesia yang masih perlu dibangun dari segi ilmu pengetahuan yaitu pendidikan secara teori dan penerapan, khususnya pendidikan moral dan spiritual.
        
Saran
1.      Sebelum menonton sebuah film, kita harus siap dihadapkan dengan stereotype - streotype yang akan dibuat oleh sutradaranya sebagai penggambaran realitas yang diinginkan. Karena, film bukan semata-mata pemindahan realitas di hadapan kita yang begitu saja dipindahkan ke dalam layar, tetapi ada nilai-nilai yang dimiliki oleh pembuatnya yang ingin ia masukkan. Sehingga realitas itu menjadi sebuah representasi saja, sebuah gambaran yang sudah dimediasi.
2.      Bagi penulis, film ini sudah memenuhi kriteria yang baik untuk sebuah film. Ada unsur hiburan, edukasi, dan juga informasi. Tanpa harus menyudutkan satu pihak, film ini bisa dijadikan contoh bagi mereka yang ingin membuat film idealis tanpa harus melupakan fungsi film sebagai hiburan.
3.      Tidak semua film komedi semata-mata untuk melucu dan membuat tertawa, Film ini bukan bertujuan utama untuk membuat Penonton Tertawa terbahak-bahak, melainkan mmembuat kita berfikir bahwa sebenarnya Negara Kita benar-benar tidak lucu dan tidak layak ditertawakan, karena semakin banyak kita merasa lucu dan tertawa saat menonton film ini, tentunya semakin kita menertawakan keburukan dan sedihnya Negara Kita ini.



1 komentar: