Rabu, 02 November 2016

Digital Music Media Baru dan Peluang Counter-Hegemony atas Dominasi Logika Industri Musik ( Studi Kasus Perkembangan Netlabel di Indonesia )

I.                   PENDAHULUAN

Musik telah memasuki kehidupan sehari-hari manusia. Hampir dipastikan semua orang di dunia dan kelompok-kelompok masyarakat memiliki bentuk kebudayaan berupa music. Karena music terus berkembang, sekarang music seperti sudah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Awalnya music dimainkan secara langsung sebagai petunjukan kesenian tapi sekarang music telah berkembang sehingga saat ini music bisa didengarkan dan dinyanyikan bahkan saat ini perkembangan teknologi mekanis yang mampu merekam suara dan dihadirkan kembali suara tersebut tanpa perlu menghadirkan pemusik yang memainkan music.

A.    LATAR BELAKANG

Karena sadar bahwa music memberikan peluang ekonomi yang cukup tinggi karena itu lah industri mulai mencoba mengamankan investasi yang telah diberikan dalam mengembangkan industri musik dengan perlindungan hukum Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Upaya pencegahan pembajakan terus dilakukan terutama oleh negara-negara yang memiliki kepentingan dan memiliki industri berbasis hak cipta yang sangat tinggi sebagai andalan pendapatan maupun ekspor negara, seperti Amerika Serikat. Di Amerika HAKI lah yang menjadi pemasok devisa negara yang sangat diunggulkan dan menggeser industri lain seperti industri mobil, penerbangan, dan minyak (Haryanto, 2002:21). HAKI pada umumnya mencakup dua hal yaitu Hak Paten dan Hak Cipta.

Proses-proses produksi, distribusi hingga konsumsi musik konvensional yang selama ini secara makro dalam perspektif ekonomi politik mengarahkan pada pendulangan keuntungan yang berlebih untuk industri, dan jika dilihat dari perspektif Adorno pada akhirnya memang hanya menguntungkan pihak-pihak yang bermain dengan prinsip kapitalisnya. Penelitian Smiers dan Schijndel (2012:13) menunjukkan ada banyak alasan untuk mengatakan bahwa sebenarnya hubungan antara penghasilan dan hak cipta sangat tidak relevan bagi sebagian besar seniman. Penelitiannya juga menunjukkan bahwa dari seluruh pendapatan yang berasal dari hak cipta dan hak-hak sejenisnya, 10% diterima oleh 90% dari keseluruhan jumlah seniman dan 90% sisanya diperoleh oleh 10%  seniman. Sedangkan Martin Kretsdhmer dan Friedemann Kawohl (dalam Smiers dan Schijndel, 2012) mengemukakan bahwa para penguasa pasarlah yang justru dominan di banyak industri budaya, tentunya dalam hal ini musik juga termasuk salah satu bagian terbesarnya. 

Perkembangan teknologi juga memiliki dampak yang sangat signifi kan terhadap industri musik. Semakin murah dan mudahnya untuk proses rekaman maupun editing tentunya menjadi faktor yang semakin menentukan bahwa kini rekaman dapat dilakukan di mana saja termasuk pada perkembangan yang cukup ekstrim bagi musisi indie dengan sebutan istilah “bedroom musician, di mana mereka merasa selain karena keterbatasan dana, mereka juga merasa lebih nyaman untuk menciptakan lagu dan melakukan proses perekaman di ruang privat mereka, yakni di kamar. Seiring berjalannya waktu teknologi internet membuat masyarakat sangat mudah mendapatkan music yang mereka inginkan dan menyampingkan HAKI. Maka muncul lah pertanyaan “Apa dan bagaimana bentuk-bentuk counterhegemony terhadap dominasi logika industri musik yang terjadi di Indonesia terkait dengan perkembangan media baru?”

B.     PENGERTIAN IMPERIALIS MEDIA MENURUT PARA AHLI

1.      Imperialisme media menurut Schiller (dalam Parks dan Kumar, 2003:116) merupakan perluasan peran komersial media di negara maju, khususnya Amerika dalam hubungannya dengan negara berkembang di mana media tersebut dijadikan kendaraan bagi perusahaan pemasaran untuk memanipulasi dan menjadikan khalayak sebagai ‘konsumen yang baik’ bagi produk-produk kapitalis. Dalam pandangan Schiller, media merupakan aparatus budaya-informasional yang ampuh dalam melanggengkan kapitalisme. Melihat perkembangan musik yang sudah menjadi industri, secara pesimistik sudah diprediksi dampaknya oleh Adorno. Sebagai sebuah produk dari industri budaya, ketika musik telah memasuki dunia industri, maka niscaya akan mengikuti logika industri. Industri budaya mencerminkan konsolidasi fetisisme komoditas, sebuah dominasi dari nilai tukar dan pengaruh kapitalisme monopoli. Hal ini membentuk selera dan preferensi dari massa, dengan cara demikian membentuk kesadaran mereka dengan menanamkan hasrat pada kebutuhan palsu (Strinati, 1995:56).

2.      Adapun gagasan Adorno, yakni :

A.    Musik pop itu ‘distandarisasikan’. Untuk menyembunyikan standarisasi, industri musik menggunakan apa yang disebut Adorno ‘pseudo-individualisasi’: di mana dengan kata lain, standarisasi hits lagu menjaga para penikmat musik tetap menerimanya dengan tetap mendengarkannya. Pseudo-individualisasi, menjaga mereka (audiens) tetap menerimanya dengan membuat mereka lupa bahwa apa yang mereka dengarkan itu telah diperde ngarkan dan ‘disederhanakan sebelumnya’ kepada mereka. 
B.     Musik pop mendorong pendengaran pasif. Karena bekerja di dalam naungan kapitalisme sehingga dapat menjemukan, karenanya industri kapitalisme musik akan ‘menumpulkan’ para pendengar musiknya. Konsumsi musik pop itu senantiasa pasif dan repetitif, yang menegaskan dunia sebagaimana adanya.
C.     Musik pop beroperasi seperti ‘perekat sosial’. Fungsi sosial-psikologisnya adalah mendapatkan penyesuaian fi sik dengan mekanisme kehidupan saat ini dalam diri konsumen musik pop.
Secara umum dan ranah mainstream, pengorganisasian industri rekaman terdiri dari beberapa bagian. Industri rekaman terdiri dari berbagai orang kreatif dan perusahaan bisnis yang memulai, memproduksi dan mendistribusikan rekaman kepada konsumen (Dominick, 2009:188). Untuk mencapai konsumsi hasil rekaman musik, setidaknya terdapat 4 bagian bisnis besar dalam industri rekaman: 1) Talent; 2) Production; 3) Distribution; 4) Retail.

C.     PENGERTIAN HEGEMONI DAN COUNTER-HEGEMONI

Hegemoni merupakan sebuah keniscayaan ketika industri budaya telah begitu kuat, akhirnya menghasilkan produk-produk yang dianggap memiliki standar ‘baik’ oleh konsumen. Konsep hegemoni dapat diadaptasikan dalam perkembangan kekuasaan industri kapitalisme yang juga menggunakan cara-cara sangat halus untuk membuat masyarakat tunduk dan juga menganggap wajar ketimpangan, ketidakadilan, dan juga kesalahan yang dalam industri musik yang pada akhirnya bertujuan untuk memenangkan industri dengan membuat manipulasi-manipulasi dalam bentuk ‘pseudo-individualisasi’ atas berbagai karya musik. Menciptakan hegemoni baru, berlawanan dengan apa yang dilakukan kaum kapitalis hanya dapat diraih dengan mengubah kesadaran, pola berpikir dan pemahaman masyarakat, ‘konsepsi mereka tentang dunia’, serta norma perilaku moral mereka.

Counter-hegemony dalam industri musik tentunya dapat dimungkinkan oleh pihak-pihak yang memiliki kemampuan intelektual (intelektual organik) dengan melakukan perubahan dan menyadarkan konsumen musik bahwa konsumen juga berdaya dalam mengkritisi logika industri yang hanya menguntungkan pihak-pihak dalam industri musik. 

D.    PENGERTIAN HAK ATAS KEKAYAAN INTELEKTUAL (HAKI)

Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) pada pengertian awalnya mencakup dua konsep besar yaitu konsep hak cipta (copyright) dan hak paten (patent) yang diatur secara terpisah, tetapi keduanya merupakan bagian dari HAKI bersama dengan beberapa peraturan lain, misalnya rahasia dagang, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, indikasi geografis, dan merek. Hak cipta sebagai bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelektual selama ini dianggap oleh beberapa kritikus merupakan bentuk represi yang akhirnya menghegemoni baik bagi pencipta maupun konsumen suatu produk. Hak cipta bagaimanapun menjadi pegangan legitimasi hukum bagi industri yang akan melanggengkan industri dengan dalih memberikan hak yang pantas bagi pencipta. 

E.     PENGERTIAN HAKI MENURUT PARA AHLI

1.      Michael Perelman (dalam Smiers dan Schijndel 2012:14) dalam penelitiannya menyatakan bahwa keseluruhan proses yang dijalankan oleh korporasi terhadap para pekerja seni, secara virtual hanya bisa dirasakan oleh sebagian kecil dari mereka.
2.      Ruth Towse (dalam Smiers dan Schijndel 2012:14) menyimpulkan bahwa hak cipta lebih banyak retorikanya dibandingkan uang yang dapat diperoleh sebagian besar pencipta lagu maupun penyanyi dalam industri musik dan hak cipta justru terlalu bermurah hati pada para konglomerat budaya.

HAKI Amerika memperkenalkan hukum hak cipta, menerapakan dan menggunakannya. Akhirnya hasil negosiasi dengan negara-negara lain yang memiliki “ketergantungan” dengan Amerika menghasilkan perjanjian di World Trade Organization (WTO) yang mengacu pada Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS).

F.     PENGERTIAN COPYRIGHT DAN COPYLEFT

copyright merupakan copyleft yang populer di dunia internet. Sedangkan Copyleft merupakan sebuah bentuk lisensi yang berusaha menjamin bahwa publik menguasai kebebasan untuk menggunakan, memodifi kasi, memperluas, dan meredistribusi sebuah karya kreatif dan semua karya asli daripada membatasi kebebasan tersebut. Di antara kedua kutub yang saling bertentangan yakni antara yang meyakini hak cipta dan menentang hak cipta, terdapat sebuah solusi yang ditawarkan oleh Lessig (2004) dengan gagasannya mengenai “free culture”. Gagasan ini memberi jalan tengah terhadap perdebatan kedua kutub yang saling berseberangan ini. Dengan jalan tengah yang diberikan oleh Lessig ini, akhirnya terciptalah sebuah platform yang menjadi jalan tengah juga dalam menjamin “free culture” yakni Creative Commons.

Melihat secara makro, industri rekaman hampir mengalami hal yang sama dengan media massa lain, yakni mengalami adanya konsentrasi kepemilikan. Terdapat istilah “The Big Four” sebagai julukan 4 perusahaan besar yang mendominasi bisnis lebih dari 85% dari pasar Amerika dan 75% pasar global (data 2007) (Vivian, 2008; Dominick, 2009).

Urutan
Konglomerat Industri
Label
Artis
1
Universal Music Group
Geffen, Island Def Jam, Motown
U2, Kanye West, Fall Out Boys
2
Warner Music
Atlantic, Warner Bross, Maverick
James Blunt, Rob Thomas, Madonna
3
Sony BMG
Arista, Epic, Jive
Beyonce, Britney Spears, Jessica Simpson
4
EMI
Virgin, Capitol, Blue Note
Coldplay, Keith Urban, KT Tunstall
                                                                     
Dengan berkembangnya internet mempengaruhi pola konsumsi musik di seluruh belahan dunia. Musik kini dapat dengan mudah diunduh dan juga dibagikan seturut perkembangan pemrograman dan juga kecepatan transfer data dari internet. Melalui internet, distribusi musik secara digital telah sangat dimungkinkan dengan mudah. Atas kemungkinan ini, akhirnya memunculkan label-label yang mendistribusikan musik dari para musisi secara online. Dari sini muncullah istilah Netlabel sebagai label yang bergerak secara online.

G.    PENGERTAIN NETLABEL

Salah satu penggiat Netlabel, FX. Woto Wibowo yang lebih dikenal dengan nama Wok The Rock mengungkapkan bahwa:
“Netlabel adalah label rekaman yang mendistribusikan rilisannya dalam format digital audio melalui jaringan internet, rilisan dapat diunduh secara legal baik gratis maupun berbayar. Idenya adalah menyebarkan musik secara bebas dan tanpa batas geografi s. Netlabel menjadi alternatif dalam wahana musik mandiri di Indonesia yang saat ini stagnan, di mana jaringan internet belum diantisipasi dengan baik oleh industri musik arus utama.”
Disebutkan pula, menurut pemilik Netlabel Yes No Wave Music tersebut, bahwa Netlabel sebagai aksi ‘gift economy’, sebuah eksperimentasi dalam menerapkan model musik gratis kepada pecinta musik di dunia yang kapitalistik. Kehadiran Netlabel memberi peluang yang besar bagi para musisi karena dapat membantu mereka yang tidak memiliki cukup bujet untuk merilis karya mereka melalui label-label “offl ine” atau labellabel mainstream yang menuntut banyak persyaratan sesuai dengan standar industri karena harus merilis dalam bentuk fisik.
H.    PERKEMBANGAN NETLABEL
Perkembangan Netlabel di Indonesia dari tahun ke tahun semakin semarak. Dimulai dengan Tsefula/Tsefuelha Records pada 2004 kemudian Yes No Wave hadir di tahun 2007, istilah Netlabel-pun mulai menggaung di dunia musik lokal. Secara bertahap, lahirlah beberapa Netlabel baru dari tahun ke tahunnya. Menurut data yang dirilis 22 November 2012 dari situs Indonesian Netlabel Union , setidaknya terdapat 17 Netlabel yang ada di Indonesia, diantaranya: 

1. Yes No Wave Music
Netlabel pertama di Indonesia dari Yogyakarta yang muncul di bulan Maret tahun 2007. Beberapa artis yang dirilis telah mencapai level nasional hingga internasional seperti Frau, The Upstairs, Senyawa dan White Shoes & The Couples Company. Yes No Wave Music sendiri merupakan Netlabel lokal dengan jumlah rilisan terbanyak saat ini, yakni 65 album.

2. Inmyroom Records
Netlabel kedua di Indonesia. Lahir sekitar awal tahun 2008 di Jakarta. Label ini secara khusus merilis musik-kamar, dari beragam genre, yang merekam musiknya di ruang privat mereka. Salah satu artis yang menuai perhatian publik luas adalah Aditya Sofyan. 

3. Hujan! Rekords
Hujan! Rekords merupakan Netlabel ketiga di Indonesia. Berdiri di akhir tahun 2009-awal 2010 di kota Bogor. Netlabel ini berkembang cukup pesat, terlebih karena memiliki aktivitas seperti radio online, situs portal berita, pertunjukan musik dan lain-lain. 

4. StoneAge Records
Netlabel yang lahir sesudah Hujan! Rekords di tahun 2010. Berbasis di Depok, banyak merilis band-band punk, hardcore, rock alternatif dan eksperimental. Kini sudah mulai berekspansi dengan turut merilis album format fisik dan juga radio online.

5. MindBlasting
Setelah empat Netlabel di atas lahir, mulai bermunculan secara beriringan banyak Netlabel, lini massanya pun hampir bersamaan. MindBlasting, dari Jember (saat ini berlokasi di Kutoarjo) merilis band-band cadas seputar wilayah Jatim, Jateng hingga manca negara.

Melalui Netlabel yang pada dasarnya melihat musik bukan untuk dikomoditaskan menjadi karya yang harus dinilai dengan nilai keuntungan ekonomis, para musisi dimungkinkan untuk membuat karya secara lebih bebas dan ekspresif, sehingga tidak perlu menuruti standar-standar yang ditentukan oleh industri maupun pasar.

Hal ini terbukti bahwa musisi ini pada tahun 2010, memenangi dua penghargaan dari kompetisi musik indie Asia Pasifi k atau AVIMA (Asia Pasifi c Voice Independent Music Awards). Mereka memperoleh juara I kategori Best Electro/Dance Act dan juga merebut Juara III kategori Best Electro/Dance Song.

I.       PENGERTIAN CREATIVE COMMONS

Creative Commons merupakan gagasan baru sebagai gagasan alternatif atas berbagai masalah yang ditimbulkan oleh hukum hak cipta seperti yang diperkuat dan diungkapkan oleh banyak peneliti (Bettig, 1996 ; Lessig, 2002, 2004; Smiers,  2009). Kebebasan diberikan kepada pencipta terhadap karya, di mana terdapat banyak alternatif pilihan untuk mengizinkan orang lain maupun konsumen sebuah karya seperti yang ditawarkan oleh lisensi Creative Commons serta memberikan perangkat yang lebih mudah untuk menjelaskan kemungkinan penggunaan atas sebuah karya dan pada akhirnya memudahkan musisi dan Netlabel dalam melindungi pendistribusian dan pemanfaatan atas karya ciptaan musisi yang dirilis melalui Netlabel dengan adanya lisensi Creative Commons.

II.                KESIMPULAN

Maka dari itu perkembangan teknologi internet pada dasarnya bersifat sosial karena sifatnya yang berjejaring membuat peluang untuk proses kreasi dan distribusi suatu karya musik menjadi lebih mudah. Dengan adanya Netlabel yang merupakan salah satu bentuk sistem pendistribusian yang merupakan implikasi dari perkembangan teknologi media baru (internet) dengan basis prinsip untuk berbagi. Basis prinsip berbagi ini juga menjadi bentuk alternatif dari model ekonomi yang sudah mapan dari industri konvensional, yakni prinsip keuntungan finansial kapitalis dengan memberikan alternatif sistem ‘gift economy’. Praktik berbagi musik melalui Netlabel seperti yang dilakukan oleh Yes No Wace Music dan banyak Netlabel-Netlabel lain yang ada di Indonesia menunjukkan bagaimana distribusi alternatif melalui media internet ini semakin diminati oleh berbagai kalangan, sebagai bentuk counter-hegemony industri musik mainstream

DAFTAR PUSTAKA       
Adorno, Theodor W. 1991. The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture. London: Routledge. 
Denzin, N.K. dan Lincoln, Y.S. 2000. Handbook of Qualitative Research, Second Edition. London: Sage Publications.
Dominick, Joseph R. 2009. The Dynamics of Mass Communication, 10th  ed. New York: McGrawHill.
Goldstein, Paul. 1997. Hak Cipta: Dahulu, Kini dan Esok. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Haryanto, Ignatius. 2002. Penghisapan Rezim HAKI: Tinjauan Ekonomi Politik Terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual. Yogyakarta: debt-Watch Indonesia dan Kreasi Wacana.

Digital Music
Media Baru dan Peluang Counter-Hegemony
atas Dominasi Logika Industri Musik
( Studi Kasus Perkembangan Netlabel di Indonesia )
PENDAHULUAN

Musik telah memasuki kehidupan sehari-hari manusia. Hampir dipastikan semua orang di dunia dan kelompok-kelompok masyarakat memiliki bentuk kebudayaan berupa music. Karena music terus berkembang, sekarang music seperti sudah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Awalnya music dimainkan secara langsung sebagai petunjukan kesenian tapi sekarang music telah berkembang sehingga saat ini music bisa didengarkan dan dinyanyikan bahkan saat ini perkembangan teknologi mekanis yang mampu merekam suara dan dihadirkan kembali suara tersebut tanpa perlu menghadirkan pemusik yang memainkan music.

Karena sadar bahwa music memberikan peluang ekonomi yang cukup tinggi karena itu lah industri mulai mencoba mengamankan investasi yang telah diberikan dalam mengembangkan industri musik dengan perlindungan hukum Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Upaya pencegahan pembajakan terus dilakukan terutama oleh negara-negara yang memiliki kepentingan dan memiliki industri berbasis hak cipta yang sangat tinggi sebagai andalan pendapatan maupun ekspor negara, seperti Amerika Serikat. Di Amerika HAKI lah yang menjadi pemasok devisa negara yang sangat diunggulkan dan menggeser industri lain seperti industri mobil, penerbangan, dan minyak (Haryanto, 2002:21). HAKI pada umumnya mencakup dua hal yaitu Hak Paten dan Hak Cipta.

Proses-proses produksi, distribusi hingga konsumsi musik konvensional yang selama ini secara makro dalam perspektif ekonomi politik mengarahkan pada pendulangan keuntungan yang berlebih untuk industri, dan jika dilihat dari perspektif Adorno pada akhirnya memang hanya menguntungkan pihak-pihak yang bermain dengan prinsip kapitalisnya. Penelitian Smiers dan Schijndel (2012:13) menunjukkan ada banyak alasan untuk mengatakan bahwa sebenarnya hubungan antara penghasilan dan hak cipta sangat tidak relevan bagi sebagian besar seniman. Penelitiannya juga menunjukkan bahwa dari seluruh pendapatan yang berasal dari hak cipta dan hak-hak sejenisnya, 10% diterima oleh 90% dari keseluruhan jumlah seniman dan 90% sisanya diperoleh oleh 10%  seniman. Sedangkan Martin Kretsdhmer dan Friedemann Kawohl (dalam Smiers dan Schijndel, 2012) mengemukakan bahwa para penguasa pasarlah yang justru dominan di banyak industri budaya, tentunya dalam hal ini musik juga termasuk salah satu bagian terbesarnya. Perkembangan teknologi juga memiliki dampak yang sangat signifi kan terhadap industri musik. Semakin murah dan mudahnya untuk proses rekaman maupun editing tentunya menjadi faktor yang semakin menentukan bahwa kini rekaman dapat dilakukan di mana saja termasuk pada perkembangan yang cukup ekstrim bagi musisi indie dengan sebutan istilah “bedroom musician, di mana mereka merasa selain karena keterbatasan dana, mereka juga merasa lebih nyaman untuk menciptakan lagu dan melakukan proses perekaman di ruang privat mereka, yakni di kamar. 

Seiring berjalannya waktu teknologi internet membuat masyarakat sangat mudah mendapatkan music yang mereka inginkan dan menyampingkan HAKI. Maka muncul lah pertanyaan “Apa dan bagaimana bentuk-bentuk counterhegemony terhadap dominasi logika industri musik yang terjadi di Indonesia terkait dengan perkembangan media baru?”

Imperialisme media menurut Schiller (dalam Parks dan Kumar, 2003:116) merupakan perluasan peran komersial media di negara maju, khususnya Amerika dalam hubungannya dengan negara berkembang di mana media tersebut dijadikan kendaraan bagi perusahaan pemasaran untuk memanipulasi dan menjadikan khalayak sebagai ‘konsumen yang baik’ bagi produk-produk kapitalis. Dalam pandangan Schiller, media merupakan aparatus budaya-informasional yang ampuh dalam melanggengkan kapitalisme.

Melihat perkembangan musik yang sudah menjadi industri, secara pesimistik sudah diprediksi dampaknya oleh Adorno. Sebagai sebuah produk dari industri budaya, ketika musik telah memasuki dunia industri, maka niscaya akan mengikuti logika industri. Industri budaya mencerminkan konsolidasi fetisisme komoditas, sebuah dominasi dari nilai tukar dan pengaruh kapitalisme monopoli. Hal ini membentuk selera dan preferensi dari massa, dengan cara demikian membentuk kesadaran mereka dengan menanamkan hasrat pada kebutuhan palsu (Strinati, 1995:56).
Adapun gagasan Adorno, yakni ;

1.     Musik pop itu ‘distandarisasikan’. Untuk menyembunyikan standarisasi, industri musik menggunakan apa yang disebut Adorno ‘pseudo-individualisasi’: di mana dengan kata lain, standarisasi hits lagu menjaga para penikmat musik tetap menerimanya dengan tetap mendengarkannya. Pseudo-individualisasi, menjaga mereka (audiens) tetap menerimanya dengan membuat mereka lupa bahwa apa yang mereka dengarkan itu telah diperde ngarkan dan ‘disederhanakan sebelumnya’ kepada mereka.
2.    Musik pop mendorong pendengaran pasif. Karena bekerja di dalam naungan kapitalisme sehingga dapat menjemukan, karenanya industri kapitalisme musik akan ‘menumpulkan’ para pendengar musiknya. Konsumsi musik pop itu senantiasa pasif dan repetitif, yang menegaskan dunia sebagaimana adanya.
3.  Musik pop beroperasi seperti ‘perekat sosial’. Fungsi sosial-psikologisnya adalah mendapatkan penyesuaian fi sik dengan mekanisme kehidupan saat ini dalam diri konsumen musik pop.
Secara umum dan ranah mainstream, pengorganisasian industri rekaman terdiri dari beberapa bagian. Industri rekaman terdiri dari berbagai orang kreatif dan perusahaan bisnis yang memulai, memproduksi dan mendistribusikan rekaman kepada konsumen (Dominick, 2009:188). Untuk mencapai konsumsi hasil rekaman musik, setidaknya terdapat 4 bagian bisnis besar dalam industri rekaman: 1) Talent; 2) Production; 3) Distribution; 4) Retail.

HEGEMONI DAN COUNTER-HEGEMONI

Hegemoni merupakan sebuah keniscayaan ketika industri budaya telah begitu kuat, akhirnya menghasilkan produk-produk yang dianggap memiliki standar ‘baik’ oleh konsumen. Konsep hegemoni dapat diadaptasikan dalam perkembangan kekuasaan industri kapitalisme yang juga menggunakan cara-cara sangat halus untuk membuat masyarakat tunduk dan juga menganggap wajar ketimpangan, ketidakadilan, dan juga kesalahan yang dalam industri musik yang pada akhirnya bertujuan untuk memenangkan industri dengan membuat manipulasi-manipulasi dalam bentuk ‘pseudo-individualisasi’ atas berbagai karya musik. Menciptakan hegemoni baru, berlawanan dengan apa yang dilakukan kaum kapitalis hanya dapat diraih dengan mengubah kesadaran, pola berpikir dan pemahaman masyarakat, ‘konsepsi mereka tentang dunia’, serta norma perilaku moral mereka.

Counter-hegemony dalam industri musik tentunya dapat dimungkinkan oleh pihak-pihak yang memiliki kemampuan intelektual (intelektual organik) dengan melakukan perubahan dan menyadarkan konsumen musik bahwa konsumen juga berdaya dalam mengkritisi logika industri yang hanya menguntungkan pihak-pihak dalam industri musik.

Hak Atas Kekayaan Intelektual Sebagai Legimitasi Industri Budaya (HAKI)

Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) pada pengertian awalnya mencakup dua konsep besar yaitu konsep hak cipta (copyright) dan hak paten (patent) yang diatur secara terpisah, tetapi keduanya merupakan bagian dari HAKI bersama dengan beberapa peraturan lain, misalnya rahasia dagang, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, indikasi geografis, dan merek. Hak cipta sebagai bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelektual selama ini dianggap oleh beberapa kritikus merupakan bentuk represi yang akhirnya menghegemoni baik bagi pencipta maupun konsumen suatu produk. Hak cipta bagaimanapun menjadi pegangan legitimasi hukum bagi industri yang akan melanggengkan industri dengan dalih memberikan hak yang pantas bagi pencipta. 

Michael Perelman (dalam Smiers dan Schijndel 2012:14) dalam penelitiannya menyatakan bahwa keseluruhan proses yang dijalankan oleh korporasi terhadap para pekerja seni, secara virtual hanya bisa dirasakan oleh sebagian kecil dari mereka. Bahkan Ruth Towse (dalam Smiers dan Schijndel 2012:14) menyimpulkan bahwa hak cipta lebih banyak retorikanya dibandingkan uang yang dapat diperoleh sebagian besar pencipta lagu maupun penyanyi dalam industri musik dan hak cipta justru terlalu bermurah hati pada para konglomerat budaya.

HAKI Amerika memperkenalkan hukum hak cipta, menerapakan dan menggunakannya. Akhirnya hasil negosiasi dengan negara-negara lain yang memiliki “ketergantungan” dengan Amerika menghasilkan perjanjian di World Trade Organization (WTO) yang mengacu pada Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS).

Salah satu bentuk resistensi yang cukup ekstrim dari hak cipta atau copyright adalah copyleft yang populer di dunia internet. Copyleft merupakan sebuah bentuk lisensi yang berusaha menjamin bahwa publik menguasai kebebasan untuk menggunakan, memodifi kasi, memperluas, dan meredistribusi sebuah karya kreatif dan semua karya asli daripada membatasi kebebasan tersebut. Di antara kedua kutub yang saling bertentangan yakni antara yang meyakini hak cipta dan menentang hak cipta, terdapat sebuah solusi yang ditawarkan oleh Lessig (2004) dengan gagasannya mengenai “free culture”. Gagasan ini memberi jalan tengah terhadap perdebatan kedua kutub yang saling berseberangan ini. Dengan jalan tengah yang diberikan oleh Lessig ini, akhirnya terciptalah sebuah platform yang menjadi jalan tengah juga dalam menjamin “free culture” yakni Creative Commons.

Melihat secara makro, industri rekaman hampir mengalami hal yang sama dengan media massa lain, yakni mengalami adanya konsentrasi kepemilikan. Terdapat istilah “The Big Four” sebagai julukan 4 perusahaan besar yang mendominasi bisnis lebih dari 85% dari pasar Amerika dan 75% pasar global (data 2007) (Vivian, 2008; Dominick, 2009).

Urutan
Konglomerat Industri
Label
Artis
1
Universal Music Group
Geffen, Island Def Jam, Motown
U2, Kanye West, Fall Out Boys
2
Warner Music
Atlantic, Warner Bross, Maverick
James Blunt, Rob Thomas, Madonna
3
Sony BMG
Arista, Epic, Jive
Beyonce, Britney Spears, Jessica Simpson
4
EMI
Virgin, Capitol, Blue Note
Coldplay, Keith Urban, KT Tunstall
                                                                    
Dengan berkembangnya internet mempengaruhi pola konsumsi musik di seluruh belahan dunia. Musik kini dapat dengan mudah diunduh dan juga dibagikan seturut perkembangan pemrograman dan juga kecepatan transfer data dari internet. Melalui internet, distribusi musik secara digital telah sangat dimungkinkan dengan mudah. Atas kemungkinan ini, akhirnya memunculkan label-label yang mendistribusikan musik dari para musisi secara online. Dari sini muncullah istilah Netlabel sebagai label yang bergerak secara online.

Salah satu penggiat Netlabel, FX. Woto Wibowo yang lebih dikenal dengan nama Wok The Rock mengungkapkan bahwa:
“Netlabel adalah label rekaman yang mendistribusikan rilisannya dalam format digital audio melalui jaringan internet, rilisan dapat diunduh secara legal baik gratis maupun berbayar. Idenya adalah menyebarkan musik secara bebas dan tanpa batas geografi s. Netlabel menjadi alternatif dalam wahana musik mandiri di Indonesia yang saat ini stagnan, di mana jaringan internet belum diantisipasi dengan baik oleh industri musik arus utama.”
Disebutkan pula, menurut pemilik Netlabel Yes No Wave Music tersebut, bahwa Netlabel sebagai aksi ‘gift economy’, sebuah eksperimentasi dalam menerapkan model musik gratis kepada pecinta musik di dunia yang kapitalistik. Kehadiran Netlabel memberi peluang yang besar bagi para musisi karena dapat membantu mereka yang tidak memiliki cukup bujet untuk merilis karya mereka melalui label-label “offl ine” atau labellabel mainstream yang menuntut banyak persyaratan sesuai dengan standar industri karena harus merilis dalam bentuk fi sik.
Perkembangan Netlabel di Indonesia dari tahun ke tahun semakin semarak. Dimulai dengan Tsefula/Tsefuelha Records pada 2004 kemudian Yes No Wave hadir di tahun 2007, istilah Netlabel-pun mulai menggaung di dunia musik lokal. Secara bertahap, lahirlah beberapa Netlabel baru dari tahun ke tahunnya. Menurut data yang dirilis 22 November 2012 dari situs Indonesian Netlabel Union , setidaknya terdapat 17 Netlabel yang ada di Indonesia, diantaranya:

1. Yes No Wave Music
Netlabel pertama di Indonesia dari Yogyakarta yang muncul di bulan Maret tahun 2007. Beberapa artis yang dirilis telah mencapai level nasional hingga internasional seperti Frau, The Upstairs, Senyawa dan White Shoes & The Couples Company. Yes No Wave Music sendiri merupakan Netlabel lokal dengan jumlah rilisan terbanyak saat ini, yakni 65 album.

2. Inmyroom Records
Netlabel kedua di Indonesia. Lahir sekitar awal tahun 2008 di Jakarta. Label ini secara khusus merilis musik-kamar, dari beragam genre, yang merekam musiknya di ruang privat mereka. Salah satu artis yang menuai perhatian publik luas adalah Aditya Sofyan.

3. Hujan! Rekords
Hujan! Rekords merupakan Netlabel ketiga di Indonesia. Berdiri di akhir tahun 2009-awal 2010 di kota Bogor. Netlabel ini berkembang cukup pesat, terlebih karena memiliki aktivitas seperti radio online, situs portal berita, pertunjukan musik dan lain-lain.

4. StoneAge Records
Netlabel yang lahir sesudah Hujan! Rekords di tahun 2010. Berbasis di Depok, banyak merilis band-band punk, hardcore, rock alternatif dan eksperimental. Kini sudah mulai berekspansi dengan turut merilis album format fisik dan juga radio online.

5. MindBlasting
Setelah empat Netlabel di atas lahir, mulai bermunculan secara beriringan banyak Netlabel, lini massanya pun hampir bersamaan. MindBlasting, dari Jember (saat ini berlokasi di Kutoarjo) merilis band-band cadas seputar wilayah Jatim, Jateng hingga manca negara.

Melalui Netlabel yang pada dasarnya melihat musik bukan untuk dikomoditaskan menjadi karya yang harus dinilai dengan nilai keuntungan ekonomis, para musisi dimungkinkan untuk membuat karya secara lebih bebas dan ekspresif, sehingga tidak perlu menuruti standar-standar yang ditentukan oleh industri maupun pasar.

Hal ini terbukti bahwa musisi ini pada tahun 2010, memenangi dua penghargaan dari kompetisi musik indie Asia Pasifi k atau AVIMA (Asia Pasifi c Voice Independent Music Awards). Mereka memperoleh juara I kategori Best Electro/Dance Act dan juga merebut Juara III kategori Best Electro/Dance Song.

CREATIVE COMMONS

Creative Commons merupakan gagasan baru sebagai gagasan alternatif atas berbagai masalah yang ditimbulkan oleh hukum hak cipta seperti yang diperkuat dan diungkapkan oleh banyak peneliti (Bettig, 1996 ; Lessig, 2002, 2004; Smiers,  2009). Kebebasan diberikan kepada pencipta terhadap karya, di mana terdapat banyak alternatif pilihan untuk mengizinkan orang lain maupun konsumen sebuah karya seperti yang ditawarkan oleh lisensi Creative Commons serta memberikan perangkat yang lebih mudah untuk menjelaskan kemungkinan penggunaan atas sebuah karya dan pada akhirnya memudahkan musisi dan Netlabel dalam melindungi pendistribusian dan pemanfaatan atas karya ciptaan musisi yang dirilis melalui Netlabel dengan adanya lisensi Creative Commons.

Maka dari itu perkembangan teknologi internet pada dasarnya bersifat sosial karena sifatnya yang berjejaring membuat peluang untuk proses kreasi dan distribusi suatu karya musik menjadi lebih mudah. Dengan adanya Netlabel yang merupakan salah satu bentuk sistem pendistribusian yang merupakan implikasi dari perkembangan teknologi media baru (internet) dengan basis prinsip untuk berbagi. Basis prinsip berbagi ini juga menjadi bentuk alternatif dari model ekonomi yang sudah mapan dari industri konvensional, yakni prinsip keuntungan fi nansial kapitalis dengan memberikan alternatif sistem ‘gift economy’. Praktik berbagi musik melalui Netlabel seperti yang dilakukan oleh Yes No Wace Music dan banyak Netlabel-Netlabel lain yang ada di Indonesia menunjukkan bagaimana distribusi alternatif melalui media internet ini semakin diminati oleh berbagai kalangan, sebagai bentuk counter-hegemony industri musik mainstream.

DAFTAR PUSTAKA

Adorno, Theodor W. 1991. The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture. London: Routledge.
Denzin, N.K. dan Lincoln, Y.S. 2000. Handbook of Qualitative Research, Second Edition. London: Sage Publications.
Dominick, Joseph R. 2009. The Dynamics of Mass Communication, 10th  ed. New York: McGrawHill.
Goldstein, Paul. 1997. Hak Cipta: Dahulu, Kini dan Esok. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Haryanto, Ignatius. 2002. Penghisapan Rezim HAKI: Tinjauan Ekonomi Politik Terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual. Yogyakarta: debt-Watch Indonesia dan Kreasi Wacana.
Digital Music
Media Baru dan Peluang Counter-Hegemony
atas Dominasi Logika Industri Musik
( Studi Kasus Perkembangan Netlabel di Indonesia )
PENDAHULUAN

Musik telah memasuki kehidupan sehari-hari manusia. Hampir dipastikan semua orang di dunia dan kelompok-kelompok masyarakat memiliki bentuk kebudayaan berupa music. Karena music terus berkembang, sekarang music seperti sudah tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Awalnya music dimainkan secara langsung sebagai petunjukan kesenian tapi sekarang music telah berkembang sehingga saat ini music bisa didengarkan dan dinyanyikan bahkan saat ini perkembangan teknologi mekanis yang mampu merekam suara dan dihadirkan kembali suara tersebut tanpa perlu menghadirkan pemusik yang memainkan music.

Karena sadar bahwa music memberikan peluang ekonomi yang cukup tinggi karena itu lah industri mulai mencoba mengamankan investasi yang telah diberikan dalam mengembangkan industri musik dengan perlindungan hukum Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Upaya pencegahan pembajakan terus dilakukan terutama oleh negara-negara yang memiliki kepentingan dan memiliki industri berbasis hak cipta yang sangat tinggi sebagai andalan pendapatan maupun ekspor negara, seperti Amerika Serikat. Di Amerika HAKI lah yang menjadi pemasok devisa negara yang sangat diunggulkan dan menggeser industri lain seperti industri mobil, penerbangan, dan minyak (Haryanto, 2002:21). HAKI pada umumnya mencakup dua hal yaitu Hak Paten dan Hak Cipta.

Proses-proses produksi, distribusi hingga konsumsi musik konvensional yang selama ini secara makro dalam perspektif ekonomi politik mengarahkan pada pendulangan keuntungan yang berlebih untuk industri, dan jika dilihat dari perspektif Adorno pada akhirnya memang hanya menguntungkan pihak-pihak yang bermain dengan prinsip kapitalisnya. Penelitian Smiers dan Schijndel (2012:13) menunjukkan ada banyak alasan untuk mengatakan bahwa sebenarnya hubungan antara penghasilan dan hak cipta sangat tidak relevan bagi sebagian besar seniman. Penelitiannya juga menunjukkan bahwa dari seluruh pendapatan yang berasal dari hak cipta dan hak-hak sejenisnya, 10% diterima oleh 90% dari keseluruhan jumlah seniman dan 90% sisanya diperoleh oleh 10%  seniman. Sedangkan Martin Kretsdhmer dan Friedemann Kawohl (dalam Smiers dan Schijndel, 2012) mengemukakan bahwa para penguasa pasarlah yang justru dominan di banyak industri budaya, tentunya dalam hal ini musik juga termasuk salah satu bagian terbesarnya. 

Perkembangan teknologi juga memiliki dampak yang sangat signifi kan terhadap industri musik. Semakin murah dan mudahnya untuk proses rekaman maupun editing tentunya menjadi faktor yang semakin menentukan bahwa kini rekaman dapat dilakukan di mana saja termasuk pada perkembangan yang cukup ekstrim bagi musisi indie dengan sebutan istilah “bedroom musician, di mana mereka merasa selain karena keterbatasan dana, mereka juga merasa lebih nyaman untuk menciptakan lagu dan melakukan proses perekaman di ruang privat mereka, yakni di kamar. 

Seiring berjalannya waktu teknologi internet membuat masyarakat sangat mudah mendapatkan music yang mereka inginkan dan menyampingkan HAKI. Maka muncul lah pertanyaan “Apa dan bagaimana bentuk-bentuk counterhegemony terhadap dominasi logika industri musik yang terjadi di Indonesia terkait dengan perkembangan media baru?”

Imperialisme media menurut Schiller (dalam Parks dan Kumar, 2003:116) merupakan perluasan peran komersial media di negara maju, khususnya Amerika dalam hubungannya dengan negara berkembang di mana media tersebut dijadikan kendaraan bagi perusahaan pemasaran untuk memanipulasi dan menjadikan khalayak sebagai ‘konsumen yang baik’ bagi produk-produk kapitalis. Dalam pandangan Schiller, media merupakan aparatus budaya-informasional yang ampuh dalam melanggengkan kapitalisme.

Melihat perkembangan musik yang sudah menjadi industri, secara pesimistik sudah diprediksi dampaknya oleh Adorno. Sebagai sebuah produk dari industri budaya, ketika musik telah memasuki dunia industri, maka niscaya akan mengikuti logika industri. Industri budaya mencerminkan konsolidasi fetisisme komoditas, sebuah dominasi dari nilai tukar dan pengaruh kapitalisme monopoli. Hal ini membentuk selera dan preferensi dari massa, dengan cara demikian membentuk kesadaran mereka dengan menanamkan hasrat pada kebutuhan palsu (Strinati, 1995:56).
Adapun gagasan Adorno, yakni ;

1.     Musik pop itu ‘distandarisasikan’. Untuk menyembunyikan standarisasi, industri musik menggunakan apa yang disebut Adorno ‘pseudo-individualisasi’: di mana dengan kata lain, standarisasi hits lagu menjaga para penikmat musik tetap menerimanya dengan tetap mendengarkannya. Pseudo-individualisasi, menjaga mereka (audiens) tetap menerimanya dengan membuat mereka lupa bahwa apa yang mereka dengarkan itu telah diperde ngarkan dan ‘disederhanakan sebelumnya’ kepada mereka.
2.    Musik pop mendorong pendengaran pasif. Karena bekerja di dalam naungan kapitalisme sehingga dapat menjemukan, karenanya industri kapitalisme musik akan ‘menumpulkan’ para pendengar musiknya. Konsumsi musik pop itu senantiasa pasif dan repetitif, yang menegaskan dunia sebagaimana adanya.
3.  Musik pop beroperasi seperti ‘perekat sosial’. Fungsi sosial-psikologisnya adalah mendapatkan penyesuaian fi sik dengan mekanisme kehidupan saat ini dalam diri konsumen musik pop.
Secara umum dan ranah mainstream, pengorganisasian industri rekaman terdiri dari beberapa bagian. Industri rekaman terdiri dari berbagai orang kreatif dan perusahaan bisnis yang memulai, memproduksi dan mendistribusikan rekaman kepada konsumen (Dominick, 2009:188). Untuk mencapai konsumsi hasil rekaman musik, setidaknya terdapat 4 bagian bisnis besar dalam industri rekaman: 1) Talent; 2) Production; 3) Distribution; 4) Retail.

HEGEMONI DAN COUNTER-HEGEMONI

Hegemoni merupakan sebuah keniscayaan ketika industri budaya telah begitu kuat, akhirnya menghasilkan produk-produk yang dianggap memiliki standar ‘baik’ oleh konsumen. Konsep hegemoni dapat diadaptasikan dalam perkembangan kekuasaan industri kapitalisme yang juga menggunakan cara-cara sangat halus untuk membuat masyarakat tunduk dan juga menganggap wajar ketimpangan, ketidakadilan, dan juga kesalahan yang dalam industri musik yang pada akhirnya bertujuan untuk memenangkan industri dengan membuat manipulasi-manipulasi dalam bentuk ‘pseudo-individualisasi’ atas berbagai karya musik. Menciptakan hegemoni baru, berlawanan dengan apa yang dilakukan kaum kapitalis hanya dapat diraih dengan mengubah kesadaran, pola berpikir dan pemahaman masyarakat, ‘konsepsi mereka tentang dunia’, serta norma perilaku moral mereka.

Counter-hegemony dalam industri musik tentunya dapat dimungkinkan oleh pihak-pihak yang memiliki kemampuan intelektual (intelektual organik) dengan melakukan perubahan dan menyadarkan konsumen musik bahwa konsumen juga berdaya dalam mengkritisi logika industri yang hanya menguntungkan pihak-pihak dalam industri musik.

Hak Atas Kekayaan Intelektual Sebagai Legimitasi Industri Budaya (HAKI)

Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) pada pengertian awalnya mencakup dua konsep besar yaitu konsep hak cipta (copyright) dan hak paten (patent) yang diatur secara terpisah, tetapi keduanya merupakan bagian dari HAKI bersama dengan beberapa peraturan lain, misalnya rahasia dagang, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, indikasi geografis, dan merek. Hak cipta sebagai bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelektual selama ini dianggap oleh beberapa kritikus merupakan bentuk represi yang akhirnya menghegemoni baik bagi pencipta maupun konsumen suatu produk. Hak cipta bagaimanapun menjadi pegangan legitimasi hukum bagi industri yang akan melanggengkan industri dengan dalih memberikan hak yang pantas bagi pencipta. 

Michael Perelman (dalam Smiers dan Schijndel 2012:14) dalam penelitiannya menyatakan bahwa keseluruhan proses yang dijalankan oleh korporasi terhadap para pekerja seni, secara virtual hanya bisa dirasakan oleh sebagian kecil dari mereka. Bahkan Ruth Towse (dalam Smiers dan Schijndel 2012:14) menyimpulkan bahwa hak cipta lebih banyak retorikanya dibandingkan uang yang dapat diperoleh sebagian besar pencipta lagu maupun penyanyi dalam industri musik dan hak cipta justru terlalu bermurah hati pada para konglomerat budaya.

HAKI Amerika memperkenalkan hukum hak cipta, menerapakan dan menggunakannya. Akhirnya hasil negosiasi dengan negara-negara lain yang memiliki “ketergantungan” dengan Amerika menghasilkan perjanjian di World Trade Organization (WTO) yang mengacu pada Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPS).

Salah satu bentuk resistensi yang cukup ekstrim dari hak cipta atau copyright adalah copyleft yang populer di dunia internet. Copyleft merupakan sebuah bentuk lisensi yang berusaha menjamin bahwa publik menguasai kebebasan untuk menggunakan, memodifi kasi, memperluas, dan meredistribusi sebuah karya kreatif dan semua karya asli daripada membatasi kebebasan tersebut. Di antara kedua kutub yang saling bertentangan yakni antara yang meyakini hak cipta dan menentang hak cipta, terdapat sebuah solusi yang ditawarkan oleh Lessig (2004) dengan gagasannya mengenai “free culture”. Gagasan ini memberi jalan tengah terhadap perdebatan kedua kutub yang saling berseberangan ini. Dengan jalan tengah yang diberikan oleh Lessig ini, akhirnya terciptalah sebuah platform yang menjadi jalan tengah juga dalam menjamin “free culture” yakni Creative Commons.

Melihat secara makro, industri rekaman hampir mengalami hal yang sama dengan media massa lain, yakni mengalami adanya konsentrasi kepemilikan. Terdapat istilah “The Big Four” sebagai julukan 4 perusahaan besar yang mendominasi bisnis lebih dari 85% dari pasar Amerika dan 75% pasar global (data 2007) (Vivian, 2008; Dominick, 2009).

Urutan
Konglomerat Industri
Label
Artis
1
Universal Music Group
Geffen, Island Def Jam, Motown
U2, Kanye West, Fall Out Boys
2
Warner Music
Atlantic, Warner Bross, Maverick
James Blunt, Rob Thomas, Madonna
3
Sony BMG
Arista, Epic, Jive
Beyonce, Britney Spears, Jessica Simpson
4
EMI
Virgin, Capitol, Blue Note
Coldplay, Keith Urban, KT Tunstall
                                                                    
Dengan berkembangnya internet mempengaruhi pola konsumsi musik di seluruh belahan dunia. Musik kini dapat dengan mudah diunduh dan juga dibagikan seturut perkembangan pemrograman dan juga kecepatan transfer data dari internet. Melalui internet, distribusi musik secara digital telah sangat dimungkinkan dengan mudah. Atas kemungkinan ini, akhirnya memunculkan label-label yang mendistribusikan musik dari para musisi secara online. Dari sini muncullah istilah Netlabel sebagai label yang bergerak secara online.

Salah satu penggiat Netlabel, FX. Woto Wibowo yang lebih dikenal dengan nama Wok The Rock mengungkapkan bahwa:
“Netlabel adalah label rekaman yang mendistribusikan rilisannya dalam format digital audio melalui jaringan internet, rilisan dapat diunduh secara legal baik gratis maupun berbayar. Idenya adalah menyebarkan musik secara bebas dan tanpa batas geografi s. Netlabel menjadi alternatif dalam wahana musik mandiri di Indonesia yang saat ini stagnan, di mana jaringan internet belum diantisipasi dengan baik oleh industri musik arus utama.”
Disebutkan pula, menurut pemilik Netlabel Yes No Wave Music tersebut, bahwa Netlabel sebagai aksi ‘gift economy’, sebuah eksperimentasi dalam menerapkan model musik gratis kepada pecinta musik di dunia yang kapitalistik. Kehadiran Netlabel memberi peluang yang besar bagi para musisi karena dapat membantu mereka yang tidak memiliki cukup bujet untuk merilis karya mereka melalui label-label “offl ine” atau labellabel mainstream yang menuntut banyak persyaratan sesuai dengan standar industri karena harus merilis dalam bentuk fi sik.
Perkembangan Netlabel di Indonesia dari tahun ke tahun semakin semarak. Dimulai dengan Tsefula/Tsefuelha Records pada 2004 kemudian Yes No Wave hadir di tahun 2007, istilah Netlabel-pun mulai menggaung di dunia musik lokal. Secara bertahap, lahirlah beberapa Netlabel baru dari tahun ke tahunnya. Menurut data yang dirilis 22 November 2012 dari situs Indonesian Netlabel Union , setidaknya terdapat 17 Netlabel yang ada di Indonesia, diantaranya:

1. Yes No Wave Music
Netlabel pertama di Indonesia dari Yogyakarta yang muncul di bulan Maret tahun 2007. Beberapa artis yang dirilis telah mencapai level nasional hingga internasional seperti Frau, The Upstairs, Senyawa dan White Shoes & The Couples Company. Yes No Wave Music sendiri merupakan Netlabel lokal dengan jumlah rilisan terbanyak saat ini, yakni 65 album.

2. Inmyroom Records
Netlabel kedua di Indonesia. Lahir sekitar awal tahun 2008 di Jakarta. Label ini secara khusus merilis musik-kamar, dari beragam genre, yang merekam musiknya di ruang privat mereka. Salah satu artis yang menuai perhatian publik luas adalah Aditya Sofyan.

3. Hujan! Rekords
Hujan! Rekords merupakan Netlabel ketiga di Indonesia. Berdiri di akhir tahun 2009-awal 2010 di kota Bogor. Netlabel ini berkembang cukup pesat, terlebih karena memiliki aktivitas seperti radio online, situs portal berita, pertunjukan musik dan lain-lain.

4. StoneAge Records
Netlabel yang lahir sesudah Hujan! Rekords di tahun 2010. Berbasis di Depok, banyak merilis band-band punk, hardcore, rock alternatif dan eksperimental. Kini sudah mulai berekspansi dengan turut merilis album format fisik dan juga radio online.

5. MindBlasting
Setelah empat Netlabel di atas lahir, mulai bermunculan secara beriringan banyak Netlabel, lini massanya pun hampir bersamaan. MindBlasting, dari Jember (saat ini berlokasi di Kutoarjo) merilis band-band cadas seputar wilayah Jatim, Jateng hingga manca negara.

Melalui Netlabel yang pada dasarnya melihat musik bukan untuk dikomoditaskan menjadi karya yang harus dinilai dengan nilai keuntungan ekonomis, para musisi dimungkinkan untuk membuat karya secara lebih bebas dan ekspresif, sehingga tidak perlu menuruti standar-standar yang ditentukan oleh industri maupun pasar.

Hal ini terbukti bahwa musisi ini pada tahun 2010, memenangi dua penghargaan dari kompetisi musik indie Asia Pasifi k atau AVIMA (Asia Pasifi c Voice Independent Music Awards). Mereka memperoleh juara I kategori Best Electro/Dance Act dan juga merebut Juara III kategori Best Electro/Dance Song.

CREATIVE COMMONS

Creative Commons merupakan gagasan baru sebagai gagasan alternatif atas berbagai masalah yang ditimbulkan oleh hukum hak cipta seperti yang diperkuat dan diungkapkan oleh banyak peneliti (Bettig, 1996 ; Lessig, 2002, 2004; Smiers,  2009). Kebebasan diberikan kepada pencipta terhadap karya, di mana terdapat banyak alternatif pilihan untuk mengizinkan orang lain maupun konsumen sebuah karya seperti yang ditawarkan oleh lisensi Creative Commons serta memberikan perangkat yang lebih mudah untuk menjelaskan kemungkinan penggunaan atas sebuah karya dan pada akhirnya memudahkan musisi dan Netlabel dalam melindungi pendistribusian dan pemanfaatan atas karya ciptaan musisi yang dirilis melalui Netlabel dengan adanya lisensi Creative Commons.

Maka dari itu perkembangan teknologi internet pada dasarnya bersifat sosial karena sifatnya yang berjejaring membuat peluang untuk proses kreasi dan distribusi suatu karya musik menjadi lebih mudah. Dengan adanya Netlabel yang merupakan salah satu bentuk sistem pendistribusian yang merupakan implikasi dari perkembangan teknologi media baru (internet) dengan basis prinsip untuk berbagi. Basis prinsip berbagi ini juga menjadi bentuk alternatif dari model ekonomi yang sudah mapan dari industri konvensional, yakni prinsip keuntungan fi nansial kapitalis dengan memberikan alternatif sistem ‘gift economy’. Praktik berbagi musik melalui Netlabel seperti yang dilakukan oleh Yes No Wace Music dan banyak Netlabel-Netlabel lain yang ada di Indonesia menunjukkan bagaimana distribusi alternatif melalui media internet ini semakin diminati oleh berbagai kalangan, sebagai bentuk counter-hegemony industri musik mainstream.

DAFTAR PUSTAKA

Adorno, Theodor W. 1991. The Culture Industry: Selected Essays on Mass Culture. London: Routledge.
Denzin, N.K. dan Lincoln, Y.S. 2000. Handbook of Qualitative Research, Second Edition. London: Sage Publications.
Dominick, Joseph R. 2009. The Dynamics of Mass Communication, 10th  ed. New York: McGrawHill.
Goldstein, Paul. 1997. Hak Cipta: Dahulu, Kini dan Esok. Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Haryanto, Ignatius. 2002. Penghisapan Rezim HAKI: Tinjauan Ekonomi Politik Terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual. Yogyakarta: debt-Watch Indonesia dan Kreasi Wacana.