Digital Music
Media Baru dan Peluang Counter-Hegemony
atas Dominasi Logika Industri Musik
( Studi
Kasus Perkembangan Netlabel di Indonesia )
PENDAHULUAN
Musik
telah memasuki kehidupan sehari-hari manusia. Hampir dipastikan semua orang di
dunia dan kelompok-kelompok masyarakat memiliki bentuk kebudayaan berupa music.
Karena music terus berkembang, sekarang music seperti sudah tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia. Awalnya music dimainkan secara langsung
sebagai petunjukan kesenian tapi sekarang music telah berkembang sehingga saat
ini music bisa didengarkan dan dinyanyikan bahkan saat ini perkembangan
teknologi mekanis yang mampu merekam suara dan dihadirkan kembali suara
tersebut tanpa perlu menghadirkan pemusik yang memainkan music.
Karena
sadar bahwa music memberikan peluang ekonomi yang cukup tinggi karena itu lah
industri mulai mencoba mengamankan investasi yang telah diberikan dalam
mengembangkan industri musik dengan perlindungan hukum Hak Kekayaan Intelektual
(HAKI). Upaya pencegahan pembajakan terus dilakukan terutama oleh negara-negara
yang memiliki kepentingan dan memiliki industri berbasis hak cipta yang sangat
tinggi sebagai andalan pendapatan maupun ekspor negara, seperti Amerika
Serikat. Di Amerika HAKI lah yang menjadi pemasok devisa negara yang sangat
diunggulkan dan menggeser industri lain seperti industri mobil, penerbangan,
dan minyak (Haryanto, 2002:21). HAKI pada umumnya mencakup dua hal yaitu Hak
Paten dan Hak Cipta.
Proses-proses
produksi, distribusi hingga konsumsi musik konvensional yang selama ini secara
makro dalam perspektif ekonomi politik mengarahkan pada pendulangan keuntungan
yang berlebih untuk industri, dan jika dilihat dari perspektif Adorno pada
akhirnya memang hanya menguntungkan pihak-pihak yang bermain dengan prinsip
kapitalisnya. Penelitian Smiers dan Schijndel (2012:13) menunjukkan ada banyak
alasan untuk mengatakan bahwa sebenarnya hubungan antara penghasilan dan hak
cipta sangat tidak relevan bagi sebagian besar seniman. Penelitiannya juga
menunjukkan bahwa dari seluruh pendapatan yang berasal dari hak cipta dan
hak-hak sejenisnya, 10% diterima oleh 90% dari keseluruhan jumlah seniman dan
90% sisanya diperoleh oleh 10% seniman.
Sedangkan Martin Kretsdhmer dan Friedemann Kawohl (dalam Smiers dan Schijndel,
2012) mengemukakan bahwa para penguasa pasarlah yang justru dominan di banyak
industri budaya, tentunya dalam hal ini musik juga termasuk salah satu bagian terbesarnya.
Perkembangan teknologi juga memiliki dampak yang sangat signifi kan terhadap industri musik. Semakin murah dan mudahnya untuk proses rekaman maupun editing tentunya menjadi faktor yang semakin menentukan bahwa kini rekaman dapat dilakukan di mana saja termasuk pada perkembangan yang cukup ekstrim bagi musisi indie dengan sebutan istilah “bedroom musician”, di mana mereka merasa selain karena keterbatasan dana, mereka juga merasa lebih nyaman untuk menciptakan lagu dan melakukan proses perekaman di ruang privat mereka, yakni di kamar.
Seiring berjalannya waktu teknologi internet membuat masyarakat sangat mudah mendapatkan music yang mereka inginkan dan menyampingkan HAKI. Maka muncul lah pertanyaan “Apa dan bagaimana bentuk-bentuk counterhegemony terhadap dominasi logika industri musik yang terjadi di Indonesia terkait dengan perkembangan media baru?”
Perkembangan teknologi juga memiliki dampak yang sangat signifi kan terhadap industri musik. Semakin murah dan mudahnya untuk proses rekaman maupun editing tentunya menjadi faktor yang semakin menentukan bahwa kini rekaman dapat dilakukan di mana saja termasuk pada perkembangan yang cukup ekstrim bagi musisi indie dengan sebutan istilah “bedroom musician”, di mana mereka merasa selain karena keterbatasan dana, mereka juga merasa lebih nyaman untuk menciptakan lagu dan melakukan proses perekaman di ruang privat mereka, yakni di kamar.
Seiring berjalannya waktu teknologi internet membuat masyarakat sangat mudah mendapatkan music yang mereka inginkan dan menyampingkan HAKI. Maka muncul lah pertanyaan “Apa dan bagaimana bentuk-bentuk counterhegemony terhadap dominasi logika industri musik yang terjadi di Indonesia terkait dengan perkembangan media baru?”
Imperialisme
media menurut Schiller (dalam Parks dan Kumar, 2003:116) merupakan perluasan
peran komersial media di negara maju, khususnya Amerika dalam hubungannya
dengan negara berkembang di mana media tersebut dijadikan kendaraan bagi
perusahaan pemasaran untuk memanipulasi dan menjadikan khalayak sebagai ‘konsumen
yang baik’ bagi produk-produk kapitalis. Dalam pandangan Schiller, media
merupakan aparatus budaya-informasional yang ampuh dalam melanggengkan
kapitalisme.
Melihat
perkembangan musik yang sudah menjadi industri, secara pesimistik sudah
diprediksi dampaknya oleh Adorno. Sebagai sebuah produk dari industri budaya,
ketika musik telah memasuki dunia industri, maka niscaya akan mengikuti logika
industri. Industri budaya mencerminkan konsolidasi fetisisme komoditas, sebuah
dominasi dari nilai tukar dan pengaruh kapitalisme monopoli. Hal ini membentuk
selera dan preferensi dari massa, dengan cara demikian membentuk kesadaran
mereka dengan menanamkan hasrat pada kebutuhan palsu (Strinati, 1995:56).
Adapun
gagasan Adorno, yakni ;
1. Musik
pop itu ‘distandarisasikan’. Untuk menyembunyikan standarisasi, industri musik
menggunakan apa yang disebut Adorno ‘pseudo-individualisasi’: di mana dengan
kata lain, standarisasi hits lagu
menjaga para penikmat musik tetap menerimanya dengan tetap mendengarkannya.
Pseudo-individualisasi, menjaga mereka (audiens) tetap menerimanya dengan
membuat mereka lupa bahwa apa yang mereka dengarkan itu telah diperde ngarkan
dan ‘disederhanakan sebelumnya’ kepada mereka.
2. Musik
pop mendorong pendengaran pasif. Karena bekerja di dalam naungan kapitalisme
sehingga dapat menjemukan, karenanya industri kapitalisme musik akan
‘menumpulkan’ para pendengar musiknya. Konsumsi musik pop itu senantiasa pasif
dan repetitif, yang menegaskan dunia sebagaimana adanya.
3. Musik
pop beroperasi seperti ‘perekat sosial’. Fungsi sosial-psikologisnya adalah
mendapatkan penyesuaian fi sik dengan mekanisme kehidupan saat ini dalam diri
konsumen musik pop.
Secara
umum dan ranah mainstream,
pengorganisasian industri rekaman terdiri dari beberapa bagian. Industri
rekaman terdiri dari berbagai orang kreatif dan perusahaan bisnis yang memulai,
memproduksi dan mendistribusikan rekaman kepada konsumen (Dominick, 2009:188).
Untuk mencapai konsumsi hasil rekaman musik, setidaknya terdapat 4 bagian
bisnis besar dalam industri rekaman: 1) Talent; 2) Production;
3) Distribution; 4) Retail.
HEGEMONI DAN COUNTER-HEGEMONI
Hegemoni
merupakan sebuah keniscayaan ketika industri budaya telah begitu kuat, akhirnya
menghasilkan produk-produk yang dianggap memiliki standar ‘baik’ oleh konsumen.
Konsep hegemoni dapat diadaptasikan dalam perkembangan kekuasaan industri
kapitalisme yang juga menggunakan cara-cara sangat halus untuk membuat
masyarakat tunduk dan juga menganggap wajar ketimpangan, ketidakadilan, dan
juga kesalahan yang dalam industri musik yang pada akhirnya bertujuan untuk
memenangkan industri dengan membuat manipulasi-manipulasi dalam bentuk
‘pseudo-individualisasi’ atas berbagai karya musik. Menciptakan hegemoni baru,
berlawanan dengan apa yang dilakukan kaum kapitalis hanya dapat diraih dengan
mengubah kesadaran, pola berpikir dan pemahaman masyarakat, ‘konsepsi mereka
tentang dunia’, serta norma perilaku moral mereka.
Counter-hegemony
dalam industri musik tentunya dapat dimungkinkan oleh pihak-pihak yang memiliki
kemampuan intelektual (intelektual organik) dengan melakukan perubahan dan
menyadarkan konsumen musik bahwa konsumen juga berdaya dalam mengkritisi logika
industri yang hanya menguntungkan pihak-pihak dalam industri musik.
Hak Atas Kekayaan Intelektual
Sebagai Legimitasi Industri Budaya (HAKI)
Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI)
pada pengertian awalnya mencakup dua konsep besar yaitu konsep hak cipta (copyright) dan hak paten (patent) yang diatur secara terpisah,
tetapi keduanya merupakan bagian dari HAKI bersama dengan beberapa peraturan
lain, misalnya rahasia dagang, desain industri, desain tata letak sirkuit
terpadu, indikasi geografis, dan merek. Hak
cipta sebagai bagian dari Hak Atas Kekayaan Intelektual selama ini dianggap
oleh beberapa kritikus merupakan bentuk represi yang akhirnya menghegemoni baik
bagi pencipta maupun konsumen suatu produk. Hak cipta bagaimanapun menjadi
pegangan legitimasi hukum bagi industri yang akan melanggengkan industri dengan
dalih memberikan hak yang pantas bagi pencipta.
Michael Perelman (dalam Smiers
dan Schijndel 2012:14) dalam penelitiannya menyatakan bahwa keseluruhan proses
yang dijalankan oleh korporasi terhadap para pekerja seni, secara virtual hanya
bisa dirasakan oleh sebagian kecil dari mereka. Bahkan Ruth Towse (dalam Smiers
dan Schijndel 2012:14) menyimpulkan bahwa hak cipta lebih banyak retorikanya
dibandingkan uang yang dapat diperoleh sebagian besar pencipta lagu maupun
penyanyi dalam industri musik dan hak cipta justru terlalu bermurah hati pada
para konglomerat budaya.
HAKI Amerika memperkenalkan hukum hak cipta,
menerapakan dan menggunakannya. Akhirnya hasil negosiasi dengan negara-negara
lain yang memiliki “ketergantungan” dengan Amerika menghasilkan perjanjian di World Trade Organization (WTO) yang
mengacu pada Trade Related Aspects of
Intellectual Property Rights (TRIPS).
Salah
satu bentuk resistensi yang cukup ekstrim dari hak cipta atau copyright adalah copyleft yang populer di dunia internet. Copyleft merupakan sebuah bentuk lisensi yang berusaha menjamin
bahwa publik menguasai kebebasan untuk menggunakan, memodifi kasi, memperluas,
dan meredistribusi sebuah karya kreatif dan semua karya asli daripada membatasi
kebebasan tersebut. Di antara kedua kutub yang saling bertentangan yakni antara
yang meyakini hak cipta dan menentang hak cipta, terdapat sebuah solusi yang
ditawarkan oleh Lessig (2004) dengan gagasannya mengenai “free culture”. Gagasan ini memberi jalan tengah terhadap perdebatan
kedua kutub yang saling berseberangan ini. Dengan jalan tengah yang diberikan
oleh Lessig ini, akhirnya terciptalah sebuah platform yang menjadi jalan tengah juga dalam menjamin “free culture” yakni Creative Commons.
Melihat secara makro, industri rekaman hampir mengalami hal yang sama dengan media massa lain, yakni mengalami adanya konsentrasi kepemilikan. Terdapat istilah “The Big Four” sebagai julukan 4 perusahaan besar yang mendominasi bisnis lebih dari 85% dari pasar Amerika dan 75% pasar global (data 2007) (Vivian, 2008; Dominick, 2009).
Urutan
|
Konglomerat Industri
|
Label
|
Artis
|
1
|
Universal Music Group
|
Geffen, Island Def Jam, Motown
|
U2, Kanye West, Fall Out Boys
|
2
|
Warner Music
|
Atlantic, Warner Bross, Maverick
|
James Blunt, Rob Thomas, Madonna
|
3
|
Sony BMG
|
Arista, Epic, Jive
|
Beyonce, Britney Spears, Jessica Simpson
|
4
|
EMI
|
Virgin, Capitol, Blue Note
|
Coldplay, Keith Urban, KT Tunstall
|
Dengan
berkembangnya internet mempengaruhi pola konsumsi musik di seluruh belahan
dunia. Musik kini dapat dengan mudah diunduh dan juga dibagikan seturut
perkembangan pemrograman dan juga kecepatan transfer data dari internet. Melalui
internet, distribusi musik secara digital telah sangat dimungkinkan dengan
mudah. Atas kemungkinan ini, akhirnya memunculkan label-label yang mendistribusikan
musik dari para musisi secara online.
Dari sini muncullah istilah Netlabel sebagai label yang bergerak secara online.
Salah satu penggiat Netlabel, FX. Woto
Wibowo yang lebih dikenal dengan nama Wok The Rock mengungkapkan bahwa:
“Netlabel adalah label
rekaman yang mendistribusikan rilisannya dalam format digital audio melalui
jaringan internet, rilisan dapat diunduh secara legal baik gratis maupun
berbayar. Idenya adalah menyebarkan musik secara bebas dan tanpa batas geografi
s. Netlabel menjadi alternatif dalam wahana musik mandiri di Indonesia yang
saat ini stagnan, di mana jaringan internet belum diantisipasi dengan baik oleh
industri musik arus utama.”
Disebutkan
pula, menurut pemilik Netlabel Yes No
Wave Music tersebut, bahwa Netlabel sebagai aksi ‘gift economy’, sebuah eksperimentasi dalam menerapkan model musik
gratis kepada pecinta musik di dunia yang kapitalistik. Kehadiran Netlabel
memberi peluang yang besar bagi para musisi karena dapat membantu mereka yang
tidak memiliki cukup bujet untuk merilis karya mereka melalui label-label “offl ine” atau labellabel mainstream yang menuntut banyak
persyaratan sesuai dengan standar industri karena harus merilis dalam bentuk fi
sik.
Perkembangan
Netlabel di Indonesia dari tahun ke tahun semakin semarak. Dimulai dengan Tsefula/Tsefuelha Records pada 2004
kemudian Yes No Wave hadir di tahun
2007, istilah Netlabel-pun mulai menggaung di dunia musik lokal. Secara
bertahap, lahirlah beberapa Netlabel baru dari tahun ke tahunnya. Menurut data
yang dirilis 22 November 2012 dari situs Indonesian Netlabel Union , setidaknya terdapat 17 Netlabel yang
ada di Indonesia, diantaranya:
1.
Yes No Wave Music
Netlabel
pertama di Indonesia dari Yogyakarta yang muncul di bulan Maret tahun 2007.
Beberapa artis yang dirilis telah mencapai level nasional hingga internasional
seperti Frau, The Upstairs, Senyawa dan White Shoes & The Couples Company.
Yes No Wave Music sendiri merupakan Netlabel lokal dengan jumlah rilisan
terbanyak saat ini, yakni 65 album.
2.
Inmyroom Records
Netlabel
kedua di Indonesia. Lahir sekitar awal tahun 2008 di Jakarta. Label ini secara
khusus merilis musik-kamar, dari beragam genre, yang merekam musiknya di ruang
privat mereka. Salah satu artis yang menuai perhatian publik luas adalah Aditya
Sofyan.
3.
Hujan! Rekords
Hujan!
Rekords merupakan Netlabel ketiga di Indonesia. Berdiri di akhir tahun
2009-awal 2010 di kota Bogor. Netlabel ini berkembang cukup pesat, terlebih
karena memiliki aktivitas seperti radio online, situs portal berita,
pertunjukan musik dan lain-lain.
4.
StoneAge Records
Netlabel
yang lahir sesudah Hujan! Rekords di tahun 2010. Berbasis di Depok, banyak
merilis band-band punk, hardcore, rock alternatif dan eksperimental. Kini sudah
mulai berekspansi dengan turut merilis album format fisik dan juga radio
online.
5.
MindBlasting
Setelah
empat Netlabel di atas lahir, mulai bermunculan secara beriringan banyak
Netlabel, lini massanya pun hampir bersamaan. MindBlasting, dari Jember (saat
ini berlokasi di Kutoarjo) merilis band-band cadas seputar wilayah Jatim,
Jateng hingga manca negara.
Melalui
Netlabel yang pada dasarnya melihat musik bukan untuk dikomoditaskan menjadi
karya yang harus dinilai dengan nilai keuntungan ekonomis, para musisi
dimungkinkan untuk membuat karya secara lebih bebas dan ekspresif, sehingga
tidak perlu menuruti standar-standar yang ditentukan oleh industri maupun
pasar.
Hal
ini terbukti bahwa musisi ini pada tahun 2010, memenangi dua penghargaan dari
kompetisi musik indie Asia Pasifi k
atau AVIMA (Asia Pasifi c Voice
Independent Music Awards). Mereka memperoleh juara I kategori Best Electro/Dance Act dan juga merebut Juara III kategori Best Electro/Dance Song.
CREATIVE COMMONS
Creative Commons
merupakan gagasan baru sebagai gagasan alternatif atas berbagai masalah yang
ditimbulkan oleh hukum hak cipta seperti yang diperkuat dan diungkapkan oleh
banyak peneliti (Bettig, 1996 ; Lessig, 2002, 2004; Smiers, 2009). Kebebasan diberikan kepada pencipta
terhadap karya, di mana terdapat banyak alternatif pilihan untuk mengizinkan
orang lain maupun konsumen sebuah karya seperti yang ditawarkan oleh lisensi Creative Commons serta memberikan
perangkat yang lebih mudah untuk menjelaskan kemungkinan penggunaan atas sebuah
karya dan pada akhirnya memudahkan musisi dan Netlabel dalam melindungi
pendistribusian dan pemanfaatan atas karya ciptaan musisi yang dirilis melalui
Netlabel dengan adanya lisensi Creative
Commons.
Maka
dari itu perkembangan teknologi internet pada dasarnya bersifat sosial karena
sifatnya yang berjejaring membuat peluang untuk proses kreasi dan distribusi
suatu karya musik menjadi lebih mudah. Dengan adanya Netlabel yang merupakan
salah satu bentuk sistem pendistribusian yang merupakan implikasi dari perkembangan
teknologi media baru (internet) dengan basis prinsip untuk berbagi. Basis
prinsip berbagi ini juga menjadi bentuk alternatif dari model ekonomi yang
sudah mapan dari industri konvensional, yakni prinsip keuntungan fi nansial
kapitalis dengan memberikan alternatif sistem ‘gift economy’. Praktik berbagi musik melalui Netlabel seperti yang
dilakukan oleh Yes No Wace Music dan
banyak Netlabel-Netlabel lain yang ada di Indonesia menunjukkan bagaimana
distribusi alternatif melalui media internet ini semakin diminati oleh berbagai
kalangan, sebagai bentuk counter-hegemony
industri musik mainstream.
DAFTAR PUSTAKA
Adorno, Theodor W. 1991. The Culture Industry: Selected Essays on
Mass Culture. London: Routledge.
Denzin, N.K. dan Lincoln, Y.S. 2000. Handbook of Qualitative Research, Second
Edition. London: Sage Publications.
Dominick, Joseph
R. 2009. The Dynamics of Mass Communication,
10th ed. New York:
McGrawHill.
Goldstein, Paul. 1997. Hak Cipta: Dahulu, Kini dan Esok.
Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.
Haryanto, Ignatius. 2002. Penghisapan Rezim HAKI: Tinjauan Ekonomi
Politik Terhadap Hak Atas Kekayaan Intelektual. Yogyakarta: debt-Watch
Indonesia dan Kreasi Wacana.
penulisan cukup bagus materi cukup lengkap, tapi lebih diperhatikan lagi penulisannya, setiap tulisa wajib memiliki paragraf yang menjorok kedalam supaya enak di liat dan memasuki kedalam kriteria dalam penulisa, lalu penulisannya harusnya di simpulkan titik point yang pentingnya agar di pembaca cepat nangkep tentang materi yang anda publikasikan, dan sedikit memnyisipkan gambar juga mas, trimakasih mas sebelumnya.
BalasHapusMateri penulisan ini bagus dan menarik, tetapi menurut saya akan lebih bagus jika diberi penutup berupa kesimpulan. Karena penulisan ini sudah diberi pembuka berupa pendahuluan. Terima kasih.
BalasHapusMateri penulisan ini bagus dan menarik, tetapi menurut saya akan lebih bagus jika diberi penutup berupa kesimpulan. Karena penulisan ini sudah diberi pembuka berupa pendahuluan. Terima kasih.
BalasHapusSeharusnya per paragraph pada bagian teori harus diberi judul agar dapat dipahami paragraph tersebut sedang membahas materi apa. Terima kasih
BalasHapusPenulisannya sudah cukup bagus cuma per paragrah awal sebaiknya agak menjorok ke kanan dan sebaiknya juga dikasih saran dan kesimpulan thx
BalasHapusSeharusnya sertakan simpulan dan saran. Gambar juga bisa dimasukkan agar lebih menarik. Terima kasih
BalasHapuspenulisannya sudah bagus dan sangat menarik, tetapi kalo bisa di kasih link untuk daftar pustakanya agar bisa dipakai dan di share lagi agar lebih bermanfaat
BalasHapusMenurut saya penulisannya sudah bagus dan materinya sudah lumayan banyak tetapi lebih di perjelas lagi kerangka penulisannya dan tambahkan gambar agar lebih menarik minat pembaca
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusPrnulisan diatas sudah cukup bagus dan materinyapun cukup menarik tetapi penulisan diatas lebih baik di persingkat atau diambil inti dari jurnal agar pembaca tidak bosan membaca penulisan anda.
BalasHapuspenulisanya sudah baik dan materinya juga banyak namun lebih baik ke intinya saja. Dalam bagian paragraphnya lebih baik agak menjorok ke dalam, dan juga agar terlihat lebih menarik lagi jika ditambah gambar dan juga contohnya.
BalasHapusPenulisannya sudah cukup rapih tapi materinya yang anda sampaikan terlalu banyak seharusnya materi yang anda ingin sampaikan lebih diringkas agar mudah dipahami
BalasHapusTerima kasih atas materinya, untuk materinya sudah bagus akan tetapi teralu bertele-tele, bila perlu di tambahkalimat ajakan agar lebih terasa interaksi dengan pembaca
BalasHapusMateri yg di sampaikan cukup menarik, saya jadi tau tentang netlabel.
BalasHapusPenulisan sangat bagus dan bermanfaat, hanya saja di setiap paragraf harus diberi judul yang jelas serta kesimpulan dari penulisan ini agar para pembaca dapat memahami inti dari penulisan yang anda buat.
BalasHapusPenulisan sudah cukup bagus terutama dalam penjabaran Netlabel yang ada di Indonesia. Tetapi diharapkan penjelasan yang lebih detail lagi pada industri rekaman musik di luar negeri.
BalasHapusPenulisannya sudah cukup bagus tapi terlalu padat dalam penulisan sekiranya masih bisa di ringkas dan masukan intinya saja agar pembaca gampang mengambil ilmunya
BalasHapusPenulisannya sudah cukup bagus tapi terlalu padat dalam penulisan sekiranya masih bisa di ringkas dan masukan intinya saja agar pembaca gampang mengambil ilmunya
BalasHapusMenurut saya penulisan anda sudah baik, tetapi sangat padat dalam penulisannya terlalu banyak penjabaran yang anda tuliskan dan tolong beri kesimpulan dan saran terimakasih.
BalasHapusMaterinya terlalu padat, sebaiknya dibuat point-pointnya saja dan ditambahkan gambar
BalasHapus