Film
dalam arti sempit adalah penyajian gambar lewat layar lebar, tetapi dalam
pengertian yang lebih luas bisa juga termasuk yang disiarkan di TV. Film
merupakan salah satu media massa yang berbentuk audio visual dan sifatnya
sangat kompleks. Film menjadi sebuah karya estetika sekaligus sebagai alat
informasi yang bisa menjadi alat penghibur, alat propaganda, juga alat politik.
Ia juga dapat menjadi sarana rekreasi dan edukasi, di sisi lain dapat pula
berperan sebagai penyebarluasan nilai-nilai budaya baru. Film bisa disebut
sebagai sinema atau gambar hidup yang mana diartikan sebagai karya seni, bentuk
populer dari hiburan, juga produksi industri atau barang bisnis. Film sebagai
karya seni lahir dari proses kreatifitas yang menuntut kebebasan berkreativitas.
(H. Hafied, 2008:136).
Dalam
pembuatan film tidak mudah dan tidak sesingkat yang kita tonton, membutuhkan
waktu dan proses yang sangat panjang diperlukan proses pemikiran dan proses teknik. Proses pemikiran berupa
pencarian ide, gagasan, dan cerita yang akan digarap. Proses teknik berupa
keterampilan artistik untuk mewujudkan ide, gagasan menjadi sebuah film yang
siap ditonton. Pencarian ide atau gagasan ini dapat berasal dari mana saja,
seperti, novel, cerpen, puisi, dongeng, sejarah, cerita nyata, bahkan kritik
sosial pada pemerintah. Salah satu film yang berisi kritik sosial pada
pemerintah adalah film
“Alangkah
Lucunya Negeri Ini. Film ini merupakan
film drama komedi satire Indonesia yang dirilis pada tanggal 15 April 2010 yang
disutradarai oleh Deddy Mizwar. Film ini dibintangi antara lain oleh Reza
Rahadian dan Dedy Mizwar.
Film
ini mencoba mengangkat potret nyata yang ada dalam kehidupan bangsa Indonesia.
Film ini juga dipenuhi bintang film Indonesia, tercatat ada sembilan nama
peraih piala citra yang berkolaborasi secara sempurna untuk menyajikan tontonan
yang berkualitas. Slamet Rahardjo, Deddy Mizwar, Tio Pakusadewo, dan Rina
Hasyim. Keseluruhan film dipenuhi satir-satir politik yang cerdas. Jauh dari
itu film ini membuka mata kita semua. Tentang pendidikan, tentang pengangguran,
tentang kerasnya hidup di jalanan, serta kritik pada penguasa negeri ini. Tanpa
pemahaman, film ini hanya akan sekedar menjadi komedi belaka.
Kadang
kala, pesan moral pada sebuah film kurang diperhatikan oleh penonton. Banyak di
antara mereka hanya menikmati alur cerita, visualisasi, bahkan Humornya saja
dari film tersebut. Jika diperhatikan secara seksama dalam suatu film dapat
menjadi inspirator bagi penontonnya. Mereka dapat ikut berpikir dan bertindak
sebagai masyarakat indonesia yang aktif untuk memajukan Harkat dan Martabat
Bangsa, bukan sebaliknya hanya sekedar menikmati humor saja dari film ini.
Dalam Film Alangkah Lucunya (Negeri Ini) banyak
Kritik Sosial pada Masyarakat dan Pemerintah, Fakta Fenomena Sosial Bangsa
Kita, Harapan Anak Bangsa, Serta pesan moral baik Politik maupun Pendidikan
bagi Indonesia yang ingin disampaikan kepada penonton. Dengan latar belakang
tersebut, maka peneliti tertarik untuk mengetahui lebih lanjut mengenai makna
simbolis mengenai pesan moral yang ingin disampaikan pada film Alangkah Lucunya (Negeri Ini). Sangat
penting untuk mengetahui Semiotika Film Alangkah
Lucunya Negeri Ini agar masyarakat bisa mengetahui film-film yang mendidik
dan memberikan inspirasi bagi generasi penerus bangsa tentang pentingnya
pendidikan untuk membangun bangsa negara yang lebih baik.
TINJAUAN PUSTAKA
Analisis
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Analisis adalah penguraian suatu pokok atas
berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itusendiri serta hubungan antar bagian
untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti keseluruhan. Menurut
Anne Gregory, Analisis adalah langkah pertama dari proses perencanaan.
Menurut
Dwi Prastowo Darminto & Rifka Julianty, Analisis merupakan penguraian suatu
pokok atas berbagai bagiannya dan penelaahan bagian itu sendiri, serta hubungan
antar bagian untuk memperoleh pengertian yang tepat dan pemahaman arti
keseluruhan.
Semiotika
Istilah semeiotics
(dilafalkan demikian) diperkenalkan oleh Hippocrates (460-337 SM), penemu
ilmu medis Barat, seperti ilmu gejala-gejala. Gejala, menurut Hippocrates,
merupakan semeion, bahasa Yunani
untuk penunjuk (mark) atau tanda (sign) fisik.
Dari dua istilah Yunani tersebut, maka
semiotik secara umum didefinisikan dengan produksi tanda-tanda dan
simbol-simbol sebagai bagian dari sistem kode yang digunakan untuk
mengkomunikasikan informasi. Semiotik meliputi tanda-tanda visual dan verbal
serta tactile dan olfactory (semua tanda atau sinyal yang
bisa diakses dan bisa diterima oleh seluruh indera yang kita miliki) ketika
tanda-tanda tersebut membentuk sistem kode yang secara sistematis menyampaikan
informasi atau pesan secara tertulis di setiap kegiatan dan perilaku manusia.
Film
Menurut
UU 8/1992, Film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan salah-satu
media komunikasi massa audio visual yang dibuat berdasarkan asas sinematografi
yang direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video, dan bahan hasil
penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses
kimiawi, proses elektronik, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang
dapat dipertunjukkan atau ditayangkan dengan sistem proyeksi mekanik, elektronik,
dan sistem lainnya. Film berupa media sejenis plastik yang dilapisi emulsi dan
sangat peka terhadap cahaya yang telah diproses sehingga menghasilkan gambar
(bergerak) pada layar yang dibuat dengan tujuan tertentu untuk ditonton. Pada
generasi berikutnya fotografi bergeser pada penggunaan media digital elektronik
sebagai penyimpan gambar. Sebuah film, juga disebut gambar bergerak, adalah
serangkaian gambar diam atau bergerak. Hal ini dihasilkan oleh rekaman gambar
fotografi dengan kamera, atau dengan menggunakan teknik animasi atau efek
visual.
Teori Semiotika Roland Barthez
Teori
Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya Barthes mengembangkan semiotika
menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu denotasi dan konotasi. Kata konotasi
berasal dari bahasa Latin connotare, “menjadi
makna” dan mengarah pada tanda-tanda kultural yang terpisah/bebeda dengan kata
(dan bentuk-bentuk lain dari komunikasi). Kata melibatkan simbol-simbol,
historis dan yang berhubungan dengan emosional.
Roland
Barthes, semiotikus terkemuka dari Prancis dalam bukunya Mythologies (1972)
memaparkan konotasi kultural dari berbagai aspek kehidupan keseharian orang
Prancis, seperti steak dan frites, deterjen, mobil ciotron dan gulat.
Menurutnya, tujuannya untuk membawakan dunia tentang “apa-yang
terjadi-tanpa-mengatakan“ dan menunjukan konotasi dunia tersebut dan secara
lebih luas basis idiologinya.
Barthes
juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu
masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi
setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified,
tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua
dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi
kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan
menjadi mitos.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode
yang digunakan dalam penelitian ini ialah Content Analysis (Analisis Isi). Analisis isi (content analysis) adalah
penelitian yang bersifat pembahasan mendalam terhadap isi suatu informasi
tertulis atau tercetak dalam media massa. Pelopor analisis isi adalah Harold D.
Lasswell, yang memelopori teknik symbol
coding, yaitu mencatat lambang atau pesan secara sistematis, kemudian
diberi interpretasi.
Kemudian
penelitian ini menggunakan model Roland Barthes, yang berfokus pada gagasan
tentang gagasan signifikasi dua tahap (two
order of signification). Yang mana signifikasi tahap pertama merupakan
hubungan antara signifer (penanda)
dan signified (petanda) di dalam
sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi,
yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan
Barthes untuk menunjukan signifikasi tahap kedua. Pada signifikasi tahap kedua
yang berhubungan dengan isi, tanda bekerja melalui mitos (myth). Mitos adalah bagaimana kebudayaan menjelaskan atau memahami
beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Untuk
menjelaskan identifikasi masalah di atas, maka diambil enam scene serta waktu dan durasinya yang
memiliki pesan terkait dengan Bidang Pendidikan di Indonesia yang telah
dianalisis dengan menggunakan Teori Semiotika Roland Barthes, sebagai berikut:
Makna Denotasi
Pada gambar pertama terlihat Muluk berjalan
melintasi jembatan pinggiran Kota Jakarta, Lalu melewati Pasar Tradisional di
bawah jembatan itu. Di Gambar Berikutnya ditunjukkan Penjual Batu Kebal Bacok,
Penjual Undur-Undur, Penjual yang menawarkan Ramalan Hidup, dan Penjual
Ayat-Ayat Pelindung dari Malapetaka. Dan setiap Gambar tadi, terlihat betapa
antusiasnya pembeli dengan tawaran-tawaran tadi.
Makna Konotasi
Konotasi yang ingin disampaikan oleh
gambar ini adalah adanya kontradiksi antara dua paham atau kepercayaan dalam
Masyarakat Indonesia. Di Abad 21 ini, meskipun Logika dan Pemikiran Modern
sudah muncul di bidang akademik, Masih begitu banyak Masyarakat di Indonesia
masih menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme, pemujaan terhadap roh (sesuatu
yang tidak tampak mata). Mereka percaya bahwa roh nenek moyang yang telah
meninggal menetap di tempat-tempat tertentu, seperti pohonpohon besar. Arwah
nenek moyang itu sering dimintai tolong untuk urusan mereka.
Caranya adalah
dengan memasukkan arwah-arwah mereka ke dalam benda-benda pusaka seperti batu
hitam atau batu merah delima. Ada juga yang menyebutkan bahwa dinamisme adalah
kepercayaan yang mempercayai terhadap kekuatan yang abstrak yang berdiam pada
suatu benda.
Di Scene ini Muluk dikonotasikan Pihak yang
menganut pemikiran modern (Logika/Masuk Akal), Sedangkan Penjual dan Pembeli di
Pasar menggambarkan Pihak yang masih percaya animisme (Dinamisme).
Makna Mitos
Dunia mengenal Indonesia adalah Negara
yang beraneka ragam agama dan sangat memegang kepercayaan Kepada Tuhan yang
Maha Esa.
Kepercayaan Agama Kristen, dalam Kitab
Imamat 19:31, ”Janganlah kamu berpaling kepada arwah atau kepada roh-roh
peramal; janganlah kamu mencari mereka dan dengan demikian menjadi najis karena
mereka; Akulah TUHAN, Allahmu.”. Dalam Agama Islam, “Janganlah kamu sujud
bersembah kepada matahari dan jangan pula kepada bulan, tetapi bersujudlah
kepada Allah yang menciptakan matahari dan bulan, jika kamu benar-benar ingin
menyembah kepada-Nya”(QS. Fush-shilat : 37)”.
Artinya, setiap Agama sangat menentang
Animisme dan Dinamisme di Indonesia. Bahkan Dalam Pendidikan Sekolah, Sangat
diwajibkan untuk mengikuti Pendidikan Agama. Indonesia di lain sisi dijuluki
Negara yang Berpendidikan dan Beragama, tapi di lain sisi negara masih permisif
terhadap masyarakat yang menganut Animisme dan Dinamisme.
KESIMPULAN
1. Makna
Denotasi
Makna
denotasi dalam penelitian ini adalah gambaran tentang potret kehidupan Anakanak
terlantar di Indonesia yang dahulunya pencopet menjadi pengasong, khususnya di
Jakarta, Sehingga, ada beberapa lokasi yang diwakilkan, serta Lingkungan
kehidupan rakyat Indonesia di Jakarta.
2. Makna
Konotasi
Makna
konotasi yang terlihat dalam film ini adalah perjuangan yang dilakukan Muluk
terkait dengan Penerapan dan
pengimplementasian Pendidikan yang sesungguhnya dalam kehidupan. Lebih khusus
lagi, Muluk berjuang dengan cara merubah kehidupan sekelompok pencopet cilik
kepada profesi yang ‘halal’ yaitu menjadi pengasong cilik.
3. Mitos
Ada
beberapa mitos yang terlihat dalam film ini, yaitu tentang apakah pendidikan
itu penting di Negara Kita, Masih banyak Orang yang ‘salah’ dalam berpendidikan
sukses menjadi Koruptor, dan UUD 1945
Pasal 34 (1) yang katanya melindungi anak-anak terlantar yang justru malah
menangkap mereka layaknya seorang ‘penjahat’. Secara singkat, mitos yang ada
dalam film ini adalah Negara Indonesia yang masih perlu dibangun dari segi ilmu
pengetahuan yaitu pendidikan secara teori dan penerapan, khususnya pendidikan
moral dan spiritual.
Saran
1. Sebelum
menonton sebuah film, kita harus siap dihadapkan dengan stereotype - streotype
yang akan dibuat oleh sutradaranya sebagai penggambaran realitas yang
diinginkan. Karena, film bukan semata-mata pemindahan realitas di hadapan kita
yang begitu saja dipindahkan ke dalam layar, tetapi ada nilai-nilai yang
dimiliki oleh pembuatnya yang ingin ia masukkan. Sehingga realitas itu menjadi
sebuah representasi saja, sebuah gambaran yang sudah dimediasi.
2. Bagi
penulis, film ini sudah memenuhi kriteria yang baik untuk sebuah film. Ada
unsur hiburan, edukasi, dan juga informasi. Tanpa harus menyudutkan satu pihak,
film ini bisa dijadikan contoh bagi mereka yang ingin membuat film idealis
tanpa harus melupakan fungsi film sebagai hiburan.
3. Tidak
semua film komedi semata-mata untuk melucu dan membuat tertawa, Film ini bukan
bertujuan utama untuk membuat Penonton Tertawa terbahak-bahak, melainkan
mmembuat kita berfikir bahwa sebenarnya Negara Kita benar-benar tidak lucu dan
tidak layak ditertawakan, karena semakin banyak kita merasa lucu dan tertawa
saat menonton film ini, tentunya semakin kita menertawakan keburukan dan
sedihnya Negara Kita ini.